"Dan tidaklah sama kebaikan dan
kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba
orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia." (QS Fushshilat [41]: 34)
ISLAM CHANNEL -- Pada suatu malam khalifah
Umar bin Abdul Aziz melakukan
ronda di kawasan Damaskus. Ia ditemani seorang polisi. Keduanya masuk sebuah
masjid yang kebetulan lampunya padam. Kondisi masjid itu gelap gulita.
Tak disangka
sang khalifah mendapati seseorang sedang tidur di dalamnya. Orang yang tidur
itu terbangun dan berkata kepada Umar: "Apakah engkau itu gila?"
"Tidak, saya tidak gila," jawab khalifah.
Polisi
yang mengawal sang khalifah sempat tersinggung atas ucapan tidak sopan itu. Ia
bermaksud memukulnya, tapi dicegah oleh khalifah. "Jangan kau pukul dia.
Dia cuma bertanya: "Apakah kamu gila? dan sudah saya jawab: tidak".
Sebagai Amirul
Mukminin, saya sama sekali tidak merasa dihina atau dilecehkan. "Engkau
jangan mudah marah, mungkin dia bertanya begitu karena belum sepenuhnya sadar.
Dan boleh jadi kedatangan kita mengganggu tidurnya," nasehat Umar kepada
polisi.
Kisah unik
tersebut memberi pesan moral kepada kita bahwa berhati dan bersikap santun,
tidak mudah emosi, dan mampu membawakan diri dalam berbagai situasi merupakan
kunci kedamaian sosial.
Sebab emosi yang
tidak terkendali hanya akan membawa kericuhan, pertengkaran, ketidak-harmonisan
dalam bermasyarakat.
Kesantunan (al-hilm) dalam bersikap
dan berperilaku dapat mengantarkan kita kepada persahabatan yang sejati. Hati
yang santun tidak hanya dapat meredam permusuhan, dan mengalahkan nafsu amarah
yang diprovokasi oleh setan, juga dapat mencerdaskan emosi dan tidak mudah
menyakiti hati orang lain sehingga membuatnya mudah bergaul, beradaptasi, dan
bermasyarakat secara empati dan baik hati.
Muslim yang
berhati santun pasti tidak mudah marah dan meluapkan emosi tanpa pengendalian
diri. Nabi Muhammad SAW adalah figur berhati santun yang patut
diteladani.
Beliau pernah dilempari kotoran setiap kali melewati rumah seorang Yahudi, tetapi beliau tidak balas dendam dan sakit hati. Pada kali yang keempat lewat di depan rumahnya, beliau justeru merasa heran, kenapa orang yang biasa melemparinya dengan kotoran busuk itu tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Beliau pernah dilempari kotoran setiap kali melewati rumah seorang Yahudi, tetapi beliau tidak balas dendam dan sakit hati. Pada kali yang keempat lewat di depan rumahnya, beliau justeru merasa heran, kenapa orang yang biasa melemparinya dengan kotoran busuk itu tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Setelah
diselidiki, ternyata orang Yahudi itu sakit. Beliau malah merespon positif
dengan mendatangi rumahnya untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhan baginya.
Melihat
perlakuan Nabi SAW yang luar biasa santun dan murah hati seperti itu, si Yahudi
itu malu hati dan sempat menduga kedatangannya untuk membalas dendam.
Sesampai di
rumahnya, beliau ternyata memberi senyum ramah kepadanya sembari menanyakan
sakitnya sekaligus mendoakannya agar segera sembuh dan pulih seperti sedia
kala.
Ia kemudian
meminta maaf kepada beliau. "Sungguh engkau adalah orang yang sangat berhati
mulia, santun, dan pemaaf. Engkau tidak menaruh dendam sedikit pun kapadaku,
padahal aku telah menyakiti hatimu. Agama yang membuatmu berhati santun dan
pemaaf itu pastilah agama yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia,"
tutur Yahudi itu kepada beliau. Akhirnya, orang Yahudi itu pun masuk Islam.
Sungguh indah
hati yang santun itu, karena hanya akan melahirkan kata-kata, sikap, dan
perbuatan yang santun pula.
Begitulah dahulu
Nabi SAW berdakwah dengan kesantunan hati, sehingga orang Yahudi yang
sangat keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman (QS Al-Maidah
[5]: 82) itu pun mengakui kemuliaan dan keluhuran moralitas Islam yang
diteladankan Nabi SAW.
Dari
hati yang santun seperti itulah, Islam sebagai rahmat bagi semesta raya dapat
diwujudkan dalam kehidupan kita yang semakin hari semakin gersang dari
kesantunan hati. Semoga! Wallahu a'lam bish Shawab.
0 comments:
Posting Komentar