Minggu, 27 Oktober 2013

Uwais Al-Qarni yang Menggetarkan Langit

Uwais Al-Qarni

ISLAM CHANNEL -- Hari ini kita harus belajar banyak pada Uwais al-Qarni (w 657 M). Belajar untuk tetap yakin bahwa Allah pasti akan membalas sekecil apa pun kebaikan kita meski sepi dari apresiasi manusia.

Sosok sejarah ini teramat agung di mata Allah dan Rasul-Nya. Buah keikhlasan dan kesabarannya, Allah menyilakan sebelum ia masuk surga nanti untuk memberi syafaat kepada dua kaumnya. Dan, Nabi menyebutnya sebagai orang yang sangat terkenal di langit meski tidak dikenal di bumi.

Sosok tabiin mulia ini sebenarnya hidup di masa Rasulullah. Namun, karena tidak ditakdirkan berjumpa dengan beliau maka bukan berkategori sahabat. Definisi sahabat dalam ilmu hadis adalah mereka yang hidup di masa Rasulullah, beriman kepadanya, dan pernah berjumpa atau melihat wajah Rasulullah meski sekali.

Uwais, pemuda asal Qaran, Yaman, ini hari itu berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke pasar ternak. Ibunya yang sudah sepuh dan lumpuh memberinya restu. Di salah satu sudut pasar, pemuda bersuku Murad ini membeli lembu atau kerbau yang masih kecil. Setelah deal harga, lelaki berwajah belang karena penyakit sopak ini membawanya pulang dengan memanggulnya.

Hari-hari Uwais yang dikenal sebagai penggembala kambing kini dilaluinya dengan aktivitas yang “aneh”. Setiap pagi dan sore, Uwais menggendong lembunya dari rumah menuju bukit yang ia buatkan kandang di atasnya. Jelas saja, aktivitas “nyeleneh” ini hanya menambah daftar cemoohan orang kepadanya, yang memang bagi Uwais sendiri merupakan menu akrab sejak sepeninggal ayahnya, Amir ibn Juz ibn Murad al-Qairani. Lebih-lebih setelah Uwais mengidap penyakit sopak yang membelangkan tubuhnya. Panggilan gila sering mampir di telinganya.

Begitulah kini hari-hari seorang Uwais; memanggul lembu dari rumah ke bukit. Dinikmatinya setiap ejekan tetangga karena dalam benaknya hanya satu; fisiknya semakin hari semakin kuat hingga jelang bulan haji ia bisa menggendong sang ibu untuk berangkat menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Bakkah atau Makkah.

Rupanya itu jawabannya, ia membeli lembu kecil dan memanggulnya setiap hari dalam rangka melatih fisiknya supaya terbiasa dan kuat saat bulan haji nanti tiba. Sejak ibunya yang buta dan lumpuh itu menyampaikan hasrat hatinya ingin berangkat haji, Uwais hanya bisa memaku-merenung. Dirinya bukan orang berpunya, hasil gembala kambing habis hanya untuk makan dirinya dan ibunya di hari itu. Sedangkan, ia teramat ingin membahagiakan sang ibu. Sehingga, tercetuslah ide membeli lembu. 

Kini, bobot lembu sudah mencapai 100 kg dan aktivitas “nyeleneh” ini pun disudahinya. Dan di pagi itu Uwais merapat kepada sang bunda. “Ibu, mari kita berangkat haji!”

“Dengan apa, Nak? Mana ada bekal untuk ke sana?” sahut sang ibu dengan raut kaget.

“Mari Bu, aku gendong Ibu. Perbekalan insya Allah cukup. Jatah makanku selalu aku tabung. Fisik ini insya Allah sudah cukup kuat!” ujar Uwais meyakinkan sang ibu.

Sang ibu hanya bisa memburai air mata. Dan, pagi itu Uwais sang anak saleh ini menyaruk kaki, melintasi sahara panas dengan menggendong sang ibu tercinta. Berminggu-minggu ia lewati perjalanan mission impossible sejauh 600 km ini dengan penuh ikhlas dan sabar. Sampai akhirnya Ka’bah pun sudah berada persis di depan matanya. Mereka berdua pun akhirnya berhaji, menyempurnakan keberislaman mereka.

Allahu Akbar. Perjuangan yang berbuah manis. Benarlah janji Allah, setiap kebaikan sekecil apa pun pasti akan ada balasannya dari Allah. Sungguh setiap langkah Uwais telah menggetarkan langit. Pantaslah para malaikat terkesima dan membalas tasbih tak henti. Bakti yang luar biasa dan amal kebaikan yang tak bertepi dari Uwais mengangkat dirinya sebagai sosok yang sangat masyhur di seantero langit.

Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib pernah diminta Rasulullah untuk memintakan doa kepada Uwais al-Qarni. Karena doanya tidak berpenghalang dan pasti diijabah. Bagaimana dengan kita? Siapkah belajar kepadanya? Insya Allah.

The Choice : Buku Dialog Islam - Kristen Terpopuler

Ahmed Deedat The Choice
Rincian Product

Judul : THE CHOICE
Penulis : Ahmed Deedat
No. ISBN : 979-592-118-5
Kategori : Referensi Akidah dan Tauhid
Cover : Hard Cover
Isi : xxx + 490 halaman
Ukuran : 13.5 x 21 cm
Berat : 1000 gr
Harga : Rp. 77.000,00
Diskon : 15%
Harga Netto : Rp. 65.450,00
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar




ISLAM CHANNEL -- Ahmed Deedat merupakan dai dan kristolog terkemuka dunia, melalui tangannya sudah ribuan orang yang menjadi Muslim. Bagi tokoh-tokoh Nasrani Internasional, baik yang suka maupun yang membencinya, begitu heran akan kemampuan Ahmed Deedat dalam menangkap pesan-pesan ajaran Islam dan Kristen. Bahkan kemampuan memahami Bibel jauh di atas pendeta sekalipun. Tidak heran di pentas perdebatan teologi Islam dan Kristen, nama Ahmed Deedat menjadi paling terkemuka. Padahal Deedat hanya seorang imigran miskin dari India, yang kemudian menjadi warga kelas dua di negeri Afrika Selatan yang kala itu masih rasialis.
Dalam karya terbesarnya ini, The Choice, Ahmed Deedat berhasil memperoleh penghargaan dari King Faishal Award, yaitu hadiah Nobel dari Pemerintah Saudi Arabia. Buku ini pula telah sukses dan beredar luas di berbagai benua dan telah dicetak puluhan kali dengan oplah ratusan ribu hingga jutaan eksemplar.
Sumber dikutip dari cover belakang Buku The Choice : Dialog Islam – Kristen

Permata Dunia

Permata Dunia

Diantara kenikmatan adalah keindahan. Dan permata dapat dijadikan simbol keindahan yang tertinggi. Maka dalam hal ini wanita diibaratkan sebagai permata.

ISLAM CHANNEL -- Hadis di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya setiap wanita memiliki potensi yang luar biasa. Setiap wanita memiliki kesempatan untuk menjadi permata dunia. Namun, banyak yang salah kaprah menginterpretasikan maksud dari “Permata Dunia” yang sesungguhnya.  Tidak dapat disangkal bahwa wanita adalah keindahan. Mungkin mayoritas menyadari akan keindahan itu.

Namun hanya minoritas yang mengerti bagaimana menjaga keindahan yang dimiliki wanita. Sehingga, banyak permata yang tercuri keindahan dan kemuliaannya, tetapi si pemilik tidak merasa. Bahkan  cenderung sengaja mengeksploitasi keindahannya. (Menemukan Permata yang Hilang : 6).

Hadis di atas menjelaskan bagaimana wanita dapat menduduki posisi yang terhormat “sebaik-baik perhiasan dunia”. Yaitu dengan menjadi wanita salehah. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana menjadi wanita salehah?

Marilah merenungi QS. An-Nisa : 34. ”Maka wanita salehah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena itu Allah telah memelihara mereka.”

Dari Ayat tersebut terdapat dua unsur menjadi wanita salehah. Pertama adalah taat kepada Allah. Implementasi daripada ketaatan kepada Allah dapat terlihat dari sejauh mana seorang wanita menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Wanita yang salehah akan berusaha memahami apa yang diperintahkan Allah kemudian menjalankannya. Sekaligus memahami apa yang menjadi larangan Allah dan kemudian menjauhinya.

Kedua adalah memelihara diri. Dalam beberapa kajian kitab tafsir, memelihara diri ini terkait dengan memelihara atau menjaga kehormatan diri dan harta suami ketika suami tidak ada. Dalam konteks wanita sebagai “permata” yang memiliki potensi untuk memancarkan keindahan, maka memelihara diri dalam ayat ini dapat dimaksudkan memelihara dan menjaga kemuliaan “permata” yang terdapat pada diri wanita. Menjaga pergaulan dan menutup aurat sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam QS. An-Nur : 31. Sehingga permata yang dimiliki wanita betul terjaga keindahannya.

Sebuah permata yang sangat mahal harganya tidak akan begitu saja diletakkan di etalase. Seperti aksesoris perhiasan yang memang sengaja dipajang. Sehingga siapapun yang ingin melihat dapat melihat sesukanya. Siapapun bisa memilih, menyentuh lalu kemudian mengembalikannya lagi jika ternyata tidak sesuai dengan selera.

Namun, permata yang sangat mahal akan diletakkan pada brankas besi yang terjaga dengan sistem keamanan kelas tinggi. Tidak sembarang orang dapat melihat. Apalagi menyentuhnya. Hanya orang yang memiliki kemampuan finansial dan kesiapan yang prima sajalah yang dapat memiliki permata tersebut.

Begitulah perumpamaan sederhana dari wanita yang tidak menghormati dan menghargai “keindahannya” dengan wanita yang sadar akan keindahan yang ada dalam dirinya, lalu kemudian betul-betul menjaganya sehingga menjelma menjadi permata dunia.

Semoga para wanita dapat menjadi permata dunia yang bersinar mahal lagi menyejukkan. Bukan permata yang hilang sinarnya. Dan para laki-laki dapat bijaksana memilih wanita salehah sebagai pendampingnya, sehingga dia mendapatkan sebaik-baik kenikmatan dunia ini. Permata dunia.

Selasa, 22 Oktober 2013

Surat Terbuka Lauren Booth : Mengapa Saya Memilih Islam [VIDEO]

Lauren Booth

ISLAM CHANNEL, LONDON -- Belum sebulan menjadi mualaf, ipar mantan perdana menteri Inggris Tony Blair, Lauren Booth, kembali menjadi bahan berita. Kali ini ia disebut menganut Islam syiah garis keras. Tudingan itu, dilatari perjalanannya ke Iran yang mengantarkannya menjadi Muslim.

Publikasi lain menyebut, ia menjadi Muslim hanya demi mencari popularitas. "Ia ingin diperhatikan," demikian sebagian orang mengomentari.

Alih-alih menanggapi semua tudingan, ia malah membuat surat terbuka tentang rasa syukurnya menjadi seorang Muslim. Suratnya itu dimuat di harian Daily Mail edisi awal pekan ini.

Bagaimana tentang perjalanan spiritual? Itu tak pernah terjadi pada saya. Meskipun, saya suka berdoa dan sejak kecil sudah mendengar cerita tentang Yesus dan para nabi sebelumnya. Saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat sekuler. 

Mungkin apresiasi saya atas budaya Islam, terutama pada perempuan Muslim, yang menarik saya untuk mengapresiasi Islam. Perempuan Islam yang saya lihat di Inggris adalah yang menutup seluruh tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki, kadang berjalan di belakang suami mereka, dengan anak-anak berbaju panjang di sekitar mereka.

Ini sungguh kontras dengan kondisi wanita profesional Eropa yang umumnya sangat memperhatikan penampilannya. Saya, misalnya, sangat bangga dengan rambut pirang saya, dan ya, belahan dada saya. Ini seolah menjadi "jualan" utama kami.

Saat bekerja di dunia broadcast televisi, betapa hal itu makin jelas terasa: presenter wanita menghabiskan waktu hingga satu jam untuk merias wajah dan penampilan mereka, hanya untuk membahas satu topik "serius" yang memakan waktu tak lebih dari 15 menit. Apakah ini sebagian bentuk liber-ation? Saya mulai bertanya-tanya seberapa banyak penghormatan bagi gadis-gadis dan perempuan dalam masyarakat "bebas" kita.

Pada tahun 2007 saya pergi ke Libanon. Saya menghabiskan waktu empat hari bersama para mahasiswi di sana, sebagian dari mereka mengenakan cadar. Mereka tetap tampak menawan, mandiri, dan bebas berpendapat. Mereka semua bukan gadis yang pemalu, atau mereka akan segera dipaksa untuk menikah, seperti yang sering kita dengar di Barat.

Suatu waktu mereka menemani saya mewawancarai seorang syekh yang disebut-sebut dekat dengan milisi Hizbullah. Saya sangat terkejut ketika melihat bagaimana syekh itu memperlakukan pada gadis yang menemani saya ini. Saat Syekh Nabil yang mengenakan surban dan jubah cokelat berbicara tentang topik yang "menantang" -- tentang pertukaran tawanan -- mereka tergelitik untuk angkat bicara. Mereka bebas bertanya dan menyatakan apapun, termasuk angkat tangan untuk menyela sang Syekh yang tengah berbicara.

Ada hal lain yang berubah kemudian dalam diri saya. Semakin banyak waktu saya habiskan di Timur Tengah, semakin sering saya minta diantar ke masjid. Hanya untuk kepentingan pesiar, begitu saya selalu meyakinkan pada diri saya. Walaupun faktanya, saya mendapatkan lebih dari sekadar "wisata" belaka.

Bebas dari aneka patung dan bangku, saya melihat mereka duduk begitu saja dengan anak-anak bermain di sekitarnya, beberapa memakan bekal mereka, dan wanita tua duduk di atas kursi roda mereka membaca Al-Quran. Mereka membawa "kehidupan" mereka ke masjid, dan membawa "masjid" ke dalam rumah-rumah mereka.

Dan tibalah suatu malam saat saya mengunjungi kota Qom, di bawah kubah emas yang disebut Fatimah Mesumah (Fatimah Sang Teladan), sama seperti perempuan lainnya di sana, tiba-tiba saya bergumam nama Allah beberapa kali, ketika memegang pagar makam Fatimah.

Ketika saya duduk, sebuah kenikmatan spiritual menyergap saya. Bukan kenikmatan yang seolah mengangkat kita dari tanah, tapi kenikmatan yang memberi kedamaian penuh. Saya duduk di sana untuk waktu yang lama. Seorang wanita muda di samping saya membisikkan, "Suatu keajaiban tengah terjadi pada Anda".

Ya, seketika saya tahu. Saya bukan lagi "turis dalam Islam", tapi telah menjadi umat, bagian dari komunitas Muslim, dan terkait dengan seluruh Muslimin.

Untuk pertama kalinya saya merasakan ingin lari dari situasi ini. Ada beberapa alasan; Apakan betul saya telah siap berpindah agama? Apa yang akan ada dalam pikiran teman-teman dan keluarga kalau saya menjadi Muslim? Apakah saya siap untuk mengubah banyak hal dalam perilaku keseharian saya?

Dan yang terjadi kemudian adalah hal yang benar-benar aneh. Saya tidak merasa khawatir tentang hal-hal itu, karena entah bagaimana menjadi seorang Muslim sangat mudah - meskipun masalah yang akan saya hadapi sangat berbeda, tentu saja.

Untuk memulai, Islam menuntut banyak belajar, namun saya ibu dua anak dan bekerja penuh waktu. Anda diharapkan untuk membaca Al-Quran dari awal hingga akhir, ditambah dengan bertemu imam dan segala macam aturan bagi orang yang sudah tercerahkan. Kebanyakan orang akan menghabiskan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sebelum menyatakan keislamannya. Saya bisa melewatinya.

Kini saya menjalin hubungan dengan beberapa masjid di North London, dan saya pergi ke sana setidaknya sekali seminggu. Saya tidak mengkotakkan diri saya apakah saya seorang Syiah atau Sunni. Bagi saya, hanya ada satu Islam dan satu Allah.

Mengadopsi pakaian, harus saya akui, lebih sulit dari yang Anda pikirkan. Menggunakan jilbab artinya saya berubah secara lebih cepat lagi. Dan, saya melakukannya beberapa pekan lalu. Untunglah, cuaca di luar dingin, jadi hanya sedikit orang yang memperhatikan.

Beberapa orang di tempat kerja saya bisa menerima, sebagian lain mencibir, bahkan menganggap palsu konversi keyakinan saya. Tapi sekarang, saya mulai bisa mengabaikan komentar-komentas negatif mereka. Beberapa orang mungkin tak bisa paham tentang perjalanan spiritual, dan berbincang tentang itu justru membuat mereka ketakutan.

Lepas dari semua itu, satu yang menjadi perhatian saya saat ini adalah: saya akan tetap profesional. Beberapa aktivitas lama akan tetap saya lakukan. Saya akan tetap menjadi aktivis pro-Palestina, dan tak akan berhenti. Inggris adalah negara yang lebih toleran, setidaknya dibanding Prancis dan Jerman.

Saya beruntung bahwa saya mempunyai hubungan yang kuat dengan orang-orang di sekitar saya. Reaksi dari teman-teman saya yang non-Muslim lebih pada penasaran dari pada bermusuhan. "Apakah itu akan mengubahmu?" Mereka bertanya. "Bisakah kita tetap berteman? Bisakah kita pergi minum?"

Jawaban atas dua pertanyaan pertama adalah: ya. Yang terakhir kemungkinan besar adalah, tidak.

Hubungan saya dengan ayah saya mungkin memang tidak bagus, dan susah memintanya memahami konversi keyakinan saya. Saya dan ibu saya memiliki hubungan yang buruk sejak saya menginjak dewasa, namun kami membangun sebuah "jembatan" hubungan dan dia selalu mendukung saya. Ketika saya bilang saya menjadi Muslim, dia menjawab, "Bukan menjadi itu (Muslim). Kudengar tadinya kau menjadi Budha." Namun kini dia memahami dan menerimanya.

Suatu saat jika harus menikah lagi, saya ingin suami saya seorang Muslim. Jika ditanya apakah anak-anak saya akan menjadi Muslim juga, saya tak bisa menjawabnya. Semua terserah mereka. Anda tak bisa mengubah hati seseorang bukan? (Selesai) 

***

Ditanya mengenai penjelasan singkat tentang bagaimana saya -- seorang jurnalis, orang tua tunggal yang juga wanita karier, bekerja di media Barat -- memilih agama ini, saya selalu menjelaskan tentang pengalaman spiritual paling intens di sebuah masjid di Iran sebulan lalu.

Tetapi, hal ini membawa saya menengok ke belakang, pada Januari 2005, ketika saya datang seorang diri ke Tepi Barat untuk meliput pemilu di sana yang nantinya diterbitkan di The Mail edisi Minggu. Asal Anda tahu, sebelum pergi ke sana, saya belum pernah menghabiskan waktu dengan seseorang berdarah Arab, atau seseorang beragama Islam.

Seluruh pengalaman mungkin akan sangat mengejutkan, namun bukan untuk alasan yang mungkin saya harapkan. Sangat banyak informasi yang kita tahu tentang orang-orang yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad, walau belakangan saya sadari banyak yang bias.

Intinya, saya tetap terbang ke Timur Tengah, dengan beragam pikiran berkecamuk di kepala saya: ekstremis radikal, kaum fanatik, kawin paksa, bom bunuh diri, dan jihad. Tak banyak brosur perjalanan yang saya bawa.

Pertama menginjakkan kaki, saya datang tanpa mantel, karena otoritas bandara Israel menahan kopor saya. Saat berjalan di Ramallah, saya menggigil, sebelum kemudian seorang wanita tua mencengkeram tangan saya.

Berbicara tak jelas dalam bahasa Arab yang cepat, ia membawa saya masuk ke dalam rumah di sisi jalan. Oh, apakah saya tengah diculik oleh seorang teroris? Saya masih bingung dan bertanya-tanya, ketika ia membuka lemari pakaian dan menarik sebuah mantel, topi, dan scarf.

Saya keluar dari rumah itu dengan mengenakan mantel, topi, dan scaft pemberiannya. Ciuman wanita tua itu mengantarkan kehangatan pada perjalanan saya. Kami tak saling bertukar kata.

Kejadian itu sangat sulit saya lupakan. Dalam wujud yang berbeda, kehangatan yang sama saya dapatkan ratusan kali. Hal yang sungguh tak saya dapatkan dalam apapun yang telah saya baca sebelumnya, atau terlihat di artikel manapun.

Sejak itu, saya setidaknya beberapa kali pergi ke sana selama tiga tahun. Pertama kali saya pergi untuk urusan kerjaan, maka kali lain saya pergi untuk alasan yang berbeda: bergabung dengan relawan pembawa bantuan dan grup pro-Palestina. Saya merasa tertantang oleh kesulitan yang dialami Palestina. Penting untuk diingat, ada umat Kristen di Tanah Suci ini yang telah tinggal selama 2.000 tahun dan bahwa mereka juga menderita di bawah pendudukan ilegal Israel.

Secara bertahap saya menemukan ekspresi seperti 'Masya Allah!' dan 'Alhamdullilah!' (mirip dengan 'Haleluya'), dan itu mulai masuk dalam percakapan sehari-hari saya. Ini adalah seruan gembira yang berasal dari 100 nama Tuhan (maksudnya mungkin 99, red), atau Allah.

Dari semula saya selalu gugup bila berada di dekat kelompok Muslim, kini saya malah mencoba untuk mendekati mereka. Sebuah tantangan bisa ada di dekat kaum terpelajar, yang lebih di atas semua itu, adalah sangat ramah dan murah hati.

Sejak itu, saya tak ragu lagi untuk memulai perubahan pemahaman politik, bahwa sesungguhnya warga Palestina adalah sebuah keluarga yang hangat ketimbang tersangka teror, dan kaum Muslim adalah sebuah komunitas ketimbang serangkaian "Collateral Damage".

(OK, saya hentikan di sini dulu, karena saya harus shalat selama 10 menit. Sekarang pukul 01.30 PM. Ada lima kali waktu berdoa dalam Islam tiap hari, sepanjang tahun sejak terbit matahari hingga malam hari).

Catatan: Beberapa bagian suratnya kami penggal, tetapi tidak mengurangi arti secara keseluruhan.

Sumber : Disarikan dari Dailymail.co.ukRepublika.co.id




Kisah Nabi Ibrahim dan Empat Ekor Burung

Kisah Nabi Ibrahim dan 4 ekor Burung

ISLAM CHANNEL -- Empat ekor burung dilatih oleh sang tuan. Acap kali dipanggil, mereka akan segera mendatangi "pelatih"nya itu meski berlokasi amat jauh. Burung-burung itu amat jinak dan menuruti setiap panggilannya. 

Namun suatu hari, sang tuan menebas burung itu satu persatu. Tak hanya dibunuh, burung-burung cantik itu juga dicincang hingga tubuh mereka terpotong-potong menjadi banyak bagian. Si pemilik burung itu pun mencampur adukan potongan-potongan tubuh hewan peliharaannya.

Ia lalu menaiki bukit kemudian menaruh seperempat bagian cacahan daging. Kemudian menuju bukit lain dan melakukan hal sama. Demikian seterusnya hingga empat bukit.

Pria itu pun kemudian turun dari bukit dan berjalan menjauh. Seakan tak pernah mencincang hewan yang sudah dipelihara dan dilatih tersebut, ia pun kemudian memanggil mereka dengan seruan dan tepukan. Tak lama hewan-hewan yang sudah mati itu mendatanginya dengan kondisi utuh dan hidup. Menakjubkan! Padahal empat burung itu telah dibunuh bahkan dicacah. Potongan tubuh mereka pun bahkan dipisah-pisah jauh. Namun keempatnya hidup kembali.

Pemilik empat burung itu tidak lain sang nabiyullah yang hanif, Nabi Ibrahim 'alaihis salam. Apa yang dikerjakan beliau pun bukan tanpa arti. Bermula ketika bapak agama samawi tersebut melihat bangkai hewan hingga tinggal tulang belulang. Ibrahim yang tengah mencari ketauhidan pun bertanya-tanya, bagaimana Allah menghidupkan kembali bangkai dan jazad yang telah mati.

                                                                                     *****

Nabi Ibrahim pun berseru meminta kepada Allah, "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati," pinta beliau. 

Allah pun berfirman, "Belum yakinkah kamu?" 

Ibrahim pun menjawab, "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)," ujarnya. Allah pun kemudian memperintahkan apa yang dilakukan Ibrahim tersebut. 

Allah berfirman: "Kalau demikian tujuanmu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera," firman Allah.

Nabi Ibrahim pun segera melaksanakan panduan Allah. Beliau melatih empat ekor burung hingga jinak. Kemudian melakukan seperti yang dikisahkan tadi. Saat memanggil burung-burung yang telah menjadi bangkai, nabi Ibrahim pun takjub bukan main. Hanya dengan "kun" (jadilah), Allah menghidupkan kembali empat burung yang telah tewas, dicacah bahkan dipisahkan bangkai tubuhnya. Maka yakinlah Nabi Ibrahim bahwa Allah Maha Kuasa, mudah bagi Allah menciptakan dan menghidupkan kembali.


Kisah Nabi Ibrahim dan empat burung yang membuktikan kuasa sang pencipta Allah tersebut pun dikabarkan dalam Al Qur'an Surah Ibrahim ayat 260. Di akhir ayat disebutkan, "Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". Kabar kisah dipotong-potongnya empat burung kemudian disatukan oleh Allah untuk dihidupkan kembali merupakan kisah tafsiran menurut Ibnu Katsir dan Ath-Thabari. 

                                                                                   ****
Ibnu Katsir dalam "Stories of the Prophets" menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim merupakan hamba Allah yang bertauhid. Beliau juga banyak melakukan perjalanan kepada Allah yang menghantarkannya pada keyakinan atas keesaan Allah. Kisah diatas pun terjadi saat Nabi Ibrahim ingin tahu mengenai kehidupan setelah kematian. Demikianlah kemudian Nabi Ibrahim meminta petunjuk Allah untuk memberinya pengetahuan. Maka diperintahkanlah tentang empat burung tersebut.

Dari kisah tersebut nampak jelas bahwa Allah Maha segala sesuatu, apa yang diperintahkannya hanya "Kun, fayakun", Jadi, maka terjadilah. Allah maha membangkitkan sebagaimana dalam salah satu sifatNya dari Asmaul Husna, Al Baa`its yakni Yang Maha Membangkitkan. Dalam Al Qur'an banyak disebutkan sifat Allah yang agung tersebut. Dalam Al Qur'an juga disebutkan kemampuan Allah membangkitkan seperti halnya tanaman yang disuburkan setelah mati.

"....Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur," surah Al Hajj 5-7.

Dengan meyakini sifat Allah tersebut, tentu muncul keyakinan atas kebangkitan manusia dari alam kubur. Allah akan membangkitkan setiap manusia yang mati untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia. 

"Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?." Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya)," Surah Yasin ayat 52.

Sumber : Republika.co.id

Senin, 21 Oktober 2013

Adab dan Keutamaan Membaca Al-Qur'an

Adab Membaca Al-Qur'an
Klik pada gambar untuk memperbesar tampilan. Semoga bermanfaat.

ISLAM CHANNEL -- Tidak ada bacaan yang lebih hebat di sisi Allah, Malaikat, dan Rasul-Nya selain Alquran. Karena itu, marilah memperbanyak membaca Alquran, meresapi setiap maknanya, kemudian dihafalkan dan selanjutnya diamalkan. Dengan begitu, kita akan menjadi manusia yang paling beruntung.

Rasulullah SAW menganggap Alquran itu sebagai al-Muta'abbadu bi tilawatihi (hal yang dianggap beribadah bila membacanya). Sayang, meski membacanya dianggap sebagai sebuah bentuk ibadah, kita masih sering membaca yang lain ketimbang Alquran.

Bahkan, banyak kaum Muslimin yang bangga telah membaca buku karangan tokoh tertentu. Mereka merasa pandai dan bertambah luas wawasannya setelah menamatkan buku itu. Mereka juga tak merasa berat untuk membeli beragam judul buku atau majalah. Semuanya dibaca tanpa ada yang terlewatkan.

Tapi, jarang sekali mereka mau menyentuh dan membaca Alquran yang jelas mendatang pahala dan rahmat dari Allah. Malah mereka membiarkan Alquran teronggok di lemari atau di rak buku. Lusuh dan berdebu yang menunjukkan bahwa ia jarang dijamah, apalagi dibaca. Andai saja, mereka tahu apa yang dijanjikan Rasulullah SAW tentang pahala membaca Alquran, niscaya mereka tidak akan menyia-nyiakannya.

Dari Abdullah Ibnu Mas'ud RA, Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siapa membaca satu huruf dari kitabullah, maka baginya kebaikan dengan satu huruf itu, dan satu kebaikan akan dilipatgandakan 10 kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa, “Alif, lam, mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR at-Tirmidzi, dia mengatakan, “Hadis hasan shahih.)”

SubhanAllah. Satu huruf Alquran akan berbuah 10 pahala. Maka, jika kita membaca alif, lam, mim, maka kita akan mendapatkan 30 pahala di sisi Allah. Lalu, berapa huruf dalam basmalah, surah al-Fatihah, dan seluruh Alquran?

Karena itu, marilah bersama-sama kita memperbanyak membaca Alquran dan mengamalkannya. Mari kita atur jadwal rutin membaca Alquran setiap hari. Upayakan tak ada satu hari pun yang terlewatkan tanpa membaca Alquran.

Jangan khawatir bagi yang belum lancar atau masih terbata-bata dalam membaca Alquran. Sebab, Allah akan menganugerahkan pahala bagi yang mau berusaha membaca Alquran. Jangan takut dibilang terlambat belajar Alquran walau usia sudah mencapai 50 tahun atau lebih. Sebab, Allah tetap akan memberikan kemudahan bagi siapa saja yang mau belajar dan mengambil pelajaran dari Alquran. (Lihat QS al-Qamar [54]: 17, 22, 32, 40).


Berbahagialah, karena masih diberi kesempatan belajar Alquran. Dan itu jauh lebih baik daripada tidak mau mempergunakan usia yang ada untuk belajar Alquran. Rasul SAW bersabda, “Orang yang mahir membaca Alquran, nanti akan berkumpul bersama-sama para malaikat yang mulia lagi taat. Dan orang yang terbata-bata ketika membaca Alquran dan  terasa berat baginya, ia akan mendapatkan dua pahala.” (HR Bukhari dan Muslim).

Jumat, 18 Oktober 2013

Kisah Perjalanan Pendeta Yusuf Estes dalam Menemukan Islam [VIDEO]

yusuf estes salam dakwah
ISLAM CHANNEL -- Awalnya ia bekerja sebagai musisi di gereja sekaligus penginjil. Namun kini, ia berkeliling dunia dan telah banyak mengislamkan orang. Yusuf Estes lahir tahun 1944 di Ohio, AS. Tahun 1962 hingga 1990 ia bekerja sebagai musisi di gereja, penginjil sekaligus mengelola bisnis alat musik piano dan organ. Awal 1991 ia terlibat bisnis dengan seorang pengusaha Muslim asal Mesir bernama Muhammad Abd Rahim. Awalnya ia bermaksud meng-Kristenkan pria Mesir itu. Namun akhirnya ia justru memeluk Islam diikuti oleh istri, anak-anak, ayah serta mertuanya.

Ia menguasai bahasa Arab secara aktif, demikian juga ilmu Al-Quran selepas belajar di Mesir, Maroko dan Turki. Sejak 2006, Yusuf Estes secara regular tampil di PeaceTV, Huda TV, demikian pula IslamChannel yang bermarkas di Inggris. Ia juga muncul dalam serial televisi Islam untuk anak-anak bertajuk “Qasas Ul Anbiya” yang bercerita tentang kisah-kisah para Nabi.

Yusuf terlibat aktif di berbagai aktifitas dakwah. Misalnya, ia menjadi imam tetap di markas militer AS di Texas, da’i di penjara sejak tahun 1994, dan pernah menjadi delegasi PBB untuk perdamaian dunia. Syekh Yusuf telah meng-Islam-kan banyak kalangan, dari birokrat, guru, hingga pelajar. Berikut kisah Syekh Yusuf sebagaimana dituturkannya di situs www.islamtomorrow.com.

Nama saya Yusuf Estes. Saat ini saya dipercaya memimpin sebuah organisasi bagi Muslim asli Amerika. Kini sepanjang hidup saya, saya berikan untuk Islam. Saya berkeliling dunia untuk memberikan ceramah dan berbagi pengalaman bagaimana Islam hadir dalam diri saya. Organisasi kami terbuka untuk berdialog dengan berbagai kalangan. Misalnya para pemuka agama seperti pendeta, rabi (ulama kaum Yahudi-red) dan lainnya dimanapun mereka berada.

Kebanyakan medan kerja kami adalah kawasan institusional seperti pusat militer, universitas, hingga penjara. Tujuan utama adalah untuk menunjukkan Islam yang sebenarnya dan memperkenalkan bagaimana hidup sebagai seorang Muslim. Meskipun Islam saat ini berkembang sebagai salah satu agama terbesar kedua setelah Kristen, namun masih banyak saja terjadi mis-informasi tentang Islam. Misalnya Islam selalu diidentikkan dengan hal berbau Arab.

Banyak orang bertanya pada saya bagaimana mungkin seorang pendeta atau pastur Kristen bisa masuk Islam. Padahal tiap hari kami menyampaikan kebenaran Kristen. Belum lagi dengan berita-berita negatif tentang perilaku buruk Islam di media. Pasti tidak ada orang yang tertarik dengan Islam. Pernah seorang pria Kristen bertanya pada saya melalui e-mail kenapa dan bagaimana saya meninggalkan Kristen dan masuk Islam. Saya berterima kasih pada semua yang bersedia mendengar kisah saya berikut ini. Semoga Allah ridha. 
***
Saya lahir di Ohio, besar dan bersekolah di Texas. Dalam tubuh saya mengalir darah Amerika, Irlandia dan Jerman hingga sering disebut WASP (White Anglo Saxon Protestant). Keluarga kami adalah penganut Kristen yang sangat taat. Tahun 1949, ketika masih di bangku SD kami pindah ke Houston, Texas. Saya dan keluarga sering hadir secara rutin ke gereja. Malah saya dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, Texas.

Sebagai seorang remaja, saya punya keinginan untuk bisa berkunjung ke banyak gereja di berbagai tempat guna menambah pengalaman dan pengetahuan Kristen. Kala itu saya benar-benar haus untuk mempelajari ajaran Kristen. Tidak hanya ajaran Kristen, bahkan ajaran Hindu, Budha, Yahudi, hingga Metafisika juga saya pelajari. Hanya satu ajaran yang saya tidak begitu serius dan bahkan tidak menaruh perhatian sama sekali, yakni Islam.

Saya suka musik terutama klasik. Hingga saya sering dapat undangan menyanyi di berbagai gereja. Di kisaran tahun 1960-an saya mengajar musik dan tahun 1963 punya studio sendiri di Laurel, Maryland yang saya beri nama “Estes Music Studios.” Hingga tahun 1990 atau hampir 30 tahun lamanya saya bersama dengan ayah mengelola bisnis entertainment. Kami juga punya toko alat musik piano dan organ di Texas, Oklahoma hingga Florida.

Ayah dulu pernah aktif dalam aneka kegiatan gereja. Dari sekolah minggu hingga aktifitas penggalangan dana bagi pengembangan sekolah Kristen. Dia sangat menguasai Bibel dan juga terjemahannya. Melalui ayah pula saya belajar Bibel dalam berbagai versi dan terjemahan.

Ayah saya, seperti kebanyakan pendeta lainnya, selalu mendapat pertanyaan: ”Apakah Tuhan yang menulis Bibel?” Biasanya jawabannya adalah: “Bibel adalah rangkaian kata inspirasi seorang lelaki yang berasal dari Tuhan.” Itu bermakna, menurut saya, manusialah yang menulis Bibel. Tentu saja, selama bertahun-tahun, jawaban itu menimbulkan banyak tanggapan bahkan penolakan. Namun ayah selalu menambahkan, ”Akan tetapi (Bibel) itu tetap kata dari Tuhan yang diilhamkan kepada manusia.” Begitulah.

Beranjak dewasa dan memiliki usaha sendiri, akhirnya saya “menyerah”. Saya tidak mungkin jadi seorang pendeta. Saya takut bermental hipokrit. Saya belum bisa menerima tentang konsep Tuhan itu satu namun pada saat yang sama Dia menjadi “Tiga” atau Trinitas. Saya selalu bertanya-tanya, jika Dia “Tuhan Bapa” bagaimana mungkin pada saat yang sama juga menjadi “Anak Tuhan?”

Selama bertahun-tahun saya mencoba mencari Tuhan dengan berbagai cara. Saya pelajari dan cek dalam agama Budha, Hindu Metafisika, Taoisme, Yahudi dan banyak lagi. Bertahun-tahun saya pelajari hingga mendekati usia ke-50 saya belum menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya. Lalu saya mencoba bergaul dengan banyak kalangan, termasuk dengan para evangelis dan penginjil yang punya pengalaman di berbagai tempat dan negara.

Kami sering melakukan perjalanan jauh. Namun tidak ada jawaban yang memuaskan. Tidak ada yang mau menjawab siapa yang menulis Bibel sebenarnya, kenapa Bibel banyak versi padahal bukunya sama, kenapa banyak sekali terdapat kesalahan versi terkini dengan versi terdahulu. Dan, bahkan, dalam berbagai versi Bibel, saya tidak menemukan satupun kata “Trinitas.”

Kolega saya akhirnya tidak mampu meyakinkan saya. Mereka lelah mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan “nyeleneh” tersebut. Sampai akhirnya datanglah satu kejadian yang merupakan awal perjumpaan saya dengan Islam. Kejadian yang akhirnya meruntuhkan semua konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang telah membebani saya selama bertahun-tahun. Solusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya datang justru dengan cara, yang menurut saya, aneh dan ganjil.

Ceritanya, awal 1991 ayah mencoba menjalin bisnis dengan seorang pengusaha dari Mesir. Ia meminta saya untuk bertemu dengan pria Mesir itu. Bagi saya inilah kali pertama mengadakan kontak bisnis internasional. Yang saya tahu tentang Mesir adalah piramid, patung Sphinx, dan sungai Nil. Hanya itu. Lalu ayah menyebut bahwa pria itu seorang Muslim.

Apa? Islam? Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Menjalin hubungan dengan orang Islam? Spontan batin saya menolak. Tidak, no way! Saya mengingatkan ayah agar membatalkan kontak dengan pria itu dengan menyebut hal-hal negatif tentang orang Islam. Orang Islam teroris, pembajak, penculik, pengebom, dan entah apa lagi. Saya sebut juga mereka (orang Islam) tidak percaya dengan Tuhan, tiap hari kerjanya mencium tanah lima kali sehari, dan menyembah kotak hitam di tengah padang pasir (maksudnya Ka’bah-red.). Tidak! Saya tidak mau jumpa orang itu.

Ayah tetap mendesak. Ia menyebut orang itu sangat ramah dan baik hati. Akhirnya saya menyerah dan bersedia bertemu dengan pengusaha Islam tersebut. Tapi untuk pertemuan tersebut saya buat semacam “aturan” khusus. Antara lain; saya mau bertemu dengannya pada hari Minggu setelah kegiatan di gereja, sehingga punya “kekuatan” kala bertemu nanti. Saya musti bawa Bibel, pakai baju jubah dan peci ala gereja bertuliskan “Yesus Tuhan Kami.” Istri dan kedua anak perempuan saya juga harus datang di saat pertemuan pertama kali dengan orang Islam itu.

Tibalah hari H, ketika saya masuk toko, langsung saya tanya pada ayah mana orang Islam itu. Ayah menunjuk seorang laki-laki di dekatnya. Mendadak saya dilanda kebingungan. Ah sepertinya pria itu bukan si Islam yang dimaksud. Hati saya membatin. Penampilannya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Laki-laki asal Mesir itu tidak berjanggut, bahkan tidak punya rambut sama sekali alias botak. Ia tidak bersorban dan tidak pula berjubah. Malah pakai jas.

Spontan saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mengamati orang-orang yang hadir. Saya mencari-cari orang yang pakai jubah dengan surban melilit di kepalanya, berjenggot lebat serta alis mata tebal. Khas orang Arab. Namun tidak ada seorangpun yang memenuhi kriteria saya. Yang lebih mengejutkan, pria itu malah menegur saya dengan sangat ramah. Ia menyambut dan menjabat tangan saya dengan hangat. Namun saya tidak terkesan dengan tingkahnya itu. Hanya ada satu pikiran, yakni bagaimana meng-Kristenkan pria Mesir itu.

Selepas perkenalan singkat, saya pun mulai “menginterogasi” pria Mesir tersebut. Anda percaya dengan Tuhan? tanya saya mengawali. Pria itu menjawab ya.

Saya mencocornya lagi dengan rentetan pertanyaan lain seperti keyakinan Islam kepada Nabi Adam, Ibrahim. Musa, Daud, Sulaiman hingga Isa Al-Masih. Saya dibuat terpana kala mendengar jawabannya. Ia menjelaskan Islam percaya dengan Nabi-Nabi yang saya sebut tadi. Bahkan makin ternganga kala diberitahu Islam juga beriman dengan salah satu Kitab Allah yakni Injil dan Nabi Isa adalah salah satu utusan-Nya. Fantastik!

Yang bikin saya syok adalah tatkala mengetahui ternyata Islam juga percaya dengan Almasih (baca: Nabi Isa). Dalam Islam ternyata Isa diimani; sebagai utusan Tuhan dan bukan Tuhan, lahir tanpa seorang ayah, ibunya adalah Maryam. Ini sudah lebih dari cukup bagi saya untuk mempelajari Islam lebih lanjut. Ah padahal sebelumnya saya sangat benci dengan Islam. Kini saya harus mempelajarinya? Bagaimana mungkin?

Akhirnya kami jadi sering bertemu dan berdiskusi terutama tentang keimanan. Pria ini sangat lain. Ramah, kalem, dan terkesan pemalu. Ia mendengar dengan serius setiap kata-kata saya dan tidak menyela sedikitpun. Lama kelamaan saya jadi menyukai pria itu. Namun waktu itu yang masih terpikir oleh saya adalah mencari cara untuk mengajaknya masuk Kristen. Orang ini sangat potensial menurut saya.

Saya akhirnya setuju untuk menjalin bisnis dengan pengusaha Mesir itu. Kami sering mengadakan perjalanan bisnis di sepanjang kawasan Utara Texas. Sepanjang hari kami justru banyak berdiskusi hal keyakinan Islam dan Kristen ketimbang masalah bisnis. Kami bicara tentang konsep Tuhan, arti hidup, maksud penciptaan manusia dan alam serta isinya, tentang Nabi, dan banyak lainnya lagi.

Satu ketika saya dapat kabar Muhammad bermaksud pindah rumah. Selama ini ia tinggal bersama dengan seorang temannya. Ia berencana untuk tinggal di mesjid selama beberapa waktu. Saya dan ayah mengajaknya tinggal di rumah kami saja. Ia pun setuju.

Satu ketika salah seorang teman saya –seorang pendeta- mengalami serangan jantung. Kami membawanya ke rumah sakit terdekat dan tinggal beberapa saat disana. Saya pun mesti menjenguknya beberapa kali dalam seminggu. Muhammad sering saya ajak serta. Rupanya teman saya itu tidak begitu suka. Bahkan ia dengan nyata menolak berdiskusi apapun tentang Islam. Hingga satu hari datang pasien baru. Seorang pria yang kemudian tinggal satu kamar di rumah sakit dengan teman saya. Ia menggunakan kursi roda. Saya berkenalan dengan pria itu. Sekilas tampaknya pria itu seperti sedang depresi berat.

Akhirnya saya tahu pria itu kesepian dan depresi berat serta butuh teman dalam hidupnya. Jadilah saya mencoba mengingatkan dia tentang Tuhan. Saya kisahkan tentang Nabi Yunus yang hidup dalam perut ikan. Sendirian dalam gelap namun masih ada Tuhan bersamanya.

Selepas mendengar kisah itu, pria berkursi roda itu mendongakkan kepalanya seraya meminta maaf. Ia menceritakan bahwa ada sedikit masalah yang melandanya. Selanjutnya ia ingin mengakuinya kesalahannya itu di hadapan saya. Saya berujar bahwa saya bukan seorang pendeta. Pria itu justru menjawab; “Sebenarnya saya dulu seorang pendeta.”

“Apa? Saya barusan menceramahi seorang pendeta? Saya benar-benar syok kala itu. Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi dengan dunia ini sebenarnya?

Rupanya pendeta itu –namanya Peter Jacobs- adalah mantan misionaris yang telah berkeliling Amerika Latin dan Meksiko selama 12 tahun. Kini ia malah depresi dan butuh istirahat. Saya menawarkannya untuk tinggal di rumah kami. Dalam perjalanan ke rumah, saya berdiskusi dengan Peter tentang Islam. Saya sungguh terkejut kala diberitahu para pendeta Kristen juga belajar tentang Islam dan bahkan sebagiannya ada yang doktor di bidang itu. Ini hal baru bagi saya tentunya.

Sejak itu, Muhammad, Peter dan saya sering terlibat diskusi hingga larut malam. Satu ketika masuk ke masalah kitab-kitab suci. Saya takjub kala Muhammad menceritakan bahwa dari pertama diturunkan hingga saat ini atau selama 1400 tahun Al-Quran hanya ada satu versi. Al-Quran dihafal oleh jutaan Muslim di seluruh dunia dengan satu bahasa yaitu Arab. Sungguh mustahil. Bagaimana mungkin kitab suci kami bisa berubah-ubah dengan berbagai versi sementara Al-Quran tetap terpelihara?

Satu hari pendeta Peter Jacobs ingin melihat apa yang dilakukan orang Islam di Mesjid. Ia pun ikut Muhammad. Sepulang dari sana saya bertanya pada Peter ada kegiatan apa di sana. Peter menyebut tidak ada acara apa-apa di mesjid. Mereka (orang Islam) cuma datang dan shalat saja. Tidak ada acara seremoni apapun. Apa? tidak ada ceramah atau nyanyian apapun?

Beberapa hari kemudian Peter minta ikut lagi ke mesjid. Namun kali ini lain. Mereka tidak pulang-pulang hingga larut malam. Saya khawatir sesuatu terjadi terhadap mereka. Akhirnya Muhammad kembali dengan seorang pria berjubah. Saya sungguh terkejut dengan laki-laki yang datang bersama Muhammad itu. Ia mengenakan jubah dan topi putih. Ah rupanya si Peter. Ada apa dengan kamu tanya saya. Jawaban Peter bak petir di siang bolong. Ia menyebut sudah bersyahadah. Oh Tuhan! Apa yang terjadi? Pendeta masuk Islam?

Saya benar-benar syok dan semalaman tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Saya ceritakan kejadian tersebut kepada istri. Istri saya justru menyatakan ia juga ingin masuk Islam, karena itulah yang benar. Oh Tuhan! Saya benar-benar tidak percaya.

Saya turun ke bawah dan membangunkan Muhammad seraya minta waktu diskusi dengannya. Sepanjang malam hingga subuh kami bertukar pendapat. Muhammad minta izin shalat Subuh. Ketika itu saya mendapat firasat, kebenaran telah datang. Saya harus membuat pilihan. Lalu saya keluar rumah. Persis di belakang rumah, saya memungut sepotong papan. Lalu saya letakkan papan itu menghadap ke arah orang Islam shalat. Saya pun bersujud menghadap kiblat dan meminta petunjuk-Nya.

Pagi itu, pukul 11, saya bersyahadah di hadapan dua orang saksi, mantan pendeta Peter Jacobs dan Muhammad Abd. Rahman. Alhamdulillah, di usia ke-47 saya jadi seorang Muslim. Beberapa menit kemudian istri saya juga ikut bersyahadah. Ayah baru memeluk Islam beberapa bulan kemudian. Sejak itu saya dan ayah sering ke mesjid terdekat di kota kami. Ayah mertua saya akhirnya juga mengikuti kami. Di usianya yang ke-86 ia memeluk Islam. Mertua saya meninggal persis beberapa bulan selepas bersyahadah. Semoga Allah ampuni dia. Amiin.

Adapun anak-anak saya pindahkan dari sekolah Kristen ke sekolah Islam. Setelah sepuluh tahun bersyahadah, mereka telah mampu menghafal beberapa juz Al-Quran.

Sejak itu saya habiskan waktu hanya untuk Islam. Saya berdakwah ke mana-mana, hingga ke luar Amerika. Banyak sudah yang memeluk Islam. Baik dari kalangan birokrat, guru, dan pelajar dari berbagai agama. Dari Hindu, Katolik, Protestan, Yahudi, Rusia Orthodok, hingga Atheis. Saat ini saya juga mengelola sebuah website yakni Islamalways.com yang punya motto terkenal, " where we're always open 24 hours a day and always plenty of free parking." (kami buka 24 jam sehari dan banyak tempat parkir gratis).

Islam telah mengubah cara saya melihat kehidupan ini dengan lebih bermakna. Semoga Allah pelihara hidayah yang sudah ada pada kita dan sebarkan hidayah itu ke seluruh alam. Amin.





Kamis, 17 Oktober 2013

Biografi K.H Ustad Muhammad Arifin Ilham - Bagian III

biografi kh ustad muhammad arifin ilham 3

ISLAM CHANNEL -- Selain menjadi dosen di Universitas Borobudur dan berdakwah, Arifin mempunyai kesibukan lain. Di tempat tinggalnya di Perumahan Mampang Indah II Depok, ustad muda yang masih lajang ini mempunyai hobi yang unik: memelihara beberapa jenis satwa, termasuk di antaranya burung hantu, iguana, monyet, dan ular. Suatu hari, menjelang magrib tahun 1997, ia berhasil menangkap seekor ular kobra sepanjang satu meter lebih di semak-semak. Menurutnya, ular berkepala segi tiga dan di atasnya ada warna merahnya itu warnanya sangat indah. Ternyata, ular itu tidak hanya memukau, tetapi juga nyaris merenggut nyawa Arifin.

Bagaimana Arifin bisa lolos dari maut? Dan bagaimana kisah cintanya serta awalnya ia mengajak ribuan umat untuk berzikir?

Nyaris Meninggal
Ular tangkapan Arifin itu diberi makan oleh Sulaeman, salah seorang jemaahnya. Pagi itu Arifin kedatangan tamu, Cut Tursina, ibu angkatnya, seorang dokter gigi, yang minta tolong diantar ke Parung untuk mencari pohon hias. Usai shalat duha (salat sunah pagi hari), Arifin langsung naik ke mobil. Entah kenapa, mendadak ia turun lagi untuk melihat ularnya.

Saat naik ke mobil lagi ia memberi tahu Cut bahwa tangan kanannya digigit ular. Cut mengajaknya ke dokter, tapi Arifin menolak karena merasa tidak ada gejala sakit apa-apa di tubuhnya. Ia bahkan yang mengemudikan mobilnya. Mereka bertiga pun berangkat sekitar pukul 10 pagi dan rencananya mereka akan mampir ke warung untuk makan, sebelum mencari pohon hias. Tapi, sekitar 200 meter menjelang warung makan langganan mereka di Parung, Arifin tiba-tiba mengeluh pandangan matanya mulai kabur dan mulai sulit bernapas. Ia meminta kepada Cut untuk menggantikannya mengemudi.

Cut yakin bisa ular itu sudah bereaksi sehingga ia harus bertindak cepat untuk melarikannya ke rumah sakit. Setelah keliling ke berbagai rumah sakit di Bogor dan Parung, Arifin segera dibawa ke RS Bakti Yudha di Depok. Kondisi tubuh Arifin benar-benar makin buruk saat tiba di rumah sakit itu sekitar pukul 12 siang. Cut dan Sulaeman bahkan sudah sempat menalkin (menuntun zikir bagi mereka yang akan meninggal) Arifin.

Beberapa menit sebelum akhirnya tak sadarkan diri, Arifin pun berdoa, “Ya, Allah... kalau hamba tidak lagi bermanfaat hidup di dunia, segeralah hamba Kau panggil ke haribaan-Mu. Tapi, kalau hidup hamba akan bermanfaat dunia-akhirat, maka berilah kesempatan pada hamba untuk hidup.”

Setelah memeriksa dan menyuntik Arifin dengan SABU (serum anti bisa ular), dokter menganjurkan agar Arifin segera dibawa ke sebuah rumah sakit negeri yang sangat besar di Jakarta Pusat. Tapi malang, sampai sore hari berada di ruang gawat darurat, tubuh Arifin yang mulai menghitam itu tak segera disentuh oleh petugas medis.

Cut pun langsung memindahkannya ke RS Sint Carolus. Di rumah sakit inilah Arifin mendapat pertolongan yang intensif. Selain memiliki peralatan yang lengkap, pelayanannya cukup bagus. Saat itu juga Arifin dimasukkan ke ruang ICU, dan tubuhnya langsung dipasang alat bantu pernapasan, infus, alat pacu jantung, dan sebagainya.

Arifin ditangani oleh dr. Memet Nataprawira, dokter ahli bedah pencernaan yang juga ahli dalam menangani pasien yang digigit ular berbisa. Menurut dokter spesialis lulusan UI tahun 1977 itu, saat Arifin datang kondisinya sudah sangat buruk. Seperti umumnya pasien korban gigitan ular kobra atau ular laut, pernapasan Arifin pun jadi terhenti karena yang diracuni adalah sarafnya. “Kalau tak segera ditolong dengan pernapasan buatan, pernapasan korban bisa langsung terhenti. Artinya, pasien akan mati,” katanya.

Melihat keadaan pasiennya itu, ia sangat pesimistis Arifin akan bisa tertolong. “Selain kondisi pasien sangat buruk, persediaan SABU di rumah sakit maupun di seluruh apotek di Jakarta tidak ada. Dari kacamata medis, saya pesimistis pasien akan bisa tertolong! Hanya karena Tuhan-lah pasien ini akhirnya bisa tertolong,” jelas dokter Memet.

Ilham Marzuki, ayah Arifin, yang datang di hari kedua bersama istrinya setelah ditelepon Cut, hanya bisa pasrah ketika dipesan dr. Memet untuk bersabar dan banyak berdoa. “Keadaan putra Bapak sudah sangat parah, 99% sudah tidak ada harapan,” kata dr. Memet dengan sangat hati-hati. “Bapak sebaiknya banyak berdoa dan kita serahkan jalan yang terbaik pada Allah. Hanya mukjizat Allah-lah yang mampu menolong putra Bapak!”

Nurhayati, ibunda Arifin, terus-menerus menangis sejak diberi tahu bahwa anaknya masuk rumah sakit karena digigit ular. Ia bahkan nyaris pingsan ketika melihat anak kesayangannya itu tak sadarkan diri. Belahan jiwa yang kini menjadi kebanggaan keluarga itu, kini tengah menunggu malaikat maut. Tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, kecuali denyut jantung yang dibantu dengan alat pacu jantung, dan tarikan napas yang dibantu dengan alat bantu pernapasan.

Esoknya, saat memeriksa Arifin, dr. Memet melihat kaki pasiennya itu bergerak-gerak. “Alhamdulillah... putra Bapak masih ada harapan untuk hidup. Kakinya sudah mulai bergerak-gerak,” katanya kepada Ilham.

Ditambahkannya, kalau seorang pasien yang masih koma itu tiba-tiba menggerakkan kakinya, maka harapan hidup pasien itu cukup tinggi. “Fisik pasien ini memang sangat prima. Dari hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa otak, jantung, ginjal, maupun paru-parunya bagus tidak terkena racun bisa, sehingga akhirnya lolos dari maut,” tutur dr. Memet.

Zikirnya Mudah dipahami
Arifin bersyukur kesehatannya secara bertahap pulih kembali, setelah 21 hari mengalami koma. Setelah sebulan menunggui Arifin di rumah sakit, ayahnya pun kembali ke Kalimantan, sementara ibunya menemaninya di rumahnya di Depok. Perlahan-lahan lumpuh pada kaki dan tangannya mulai sirna, dan belakangan tinggal matanya yang silau setiap kali melihat cahaya. Tapi, tak lama kemudian keadaan matanya berangsur membaik. Ia juga sudah mulai aktif kembali ke Masjid Al-Amru Bit-Taqwa, masjid yang didirikan olehnya bersama tetangganya di Perumahan Mampang Indah II, Depok. Selain berceramah, ia mulai lagi memperbanyak zikir berjemaah (zikir bersama-sama).

Budi Noor dan Abdul Syukur, orang dekat Arifin, mengemukakan bahwa zikir berjemaah itu sudah dilakukan jauh sebelum Arifin mengalami koma akibat digigit ular. “Saya rasa keliru kalau menganggap Ustad Arifin berzikir setelah digigit ular kobra dan lolos dari maut. Jauh sebelum itu Ustad Arifin sudah sering kali memimpin jemaah zikir!” tandas keduanya.

Arifin juga mengelak anggapan beberapa media bahwa ia berzikir sebagai ungkapan rasa syukur karena telah lolos dari maut. “Arifin berzikir karena ingin mencintai Allah secara lebih total! Arifin prihatin melihat kenyataan umat Islam yang saat ini sedang terpuruk, dizalimi, difitnah, dan ditindas. Anehnya, umat Islam yang di Indonesia katanya mayoritas ini, ternyata tak berdaya sama sekali untuk melawannya. Ia sedih, para koruptor besar bebas dari hukuman, sementara orang yang belum tentu bersalah sudah menerima hukuman berat,” lanjutnya lagi.

Arifin kemudian menceritakan bahwa saat ia memperkenalkan zikir berjemaah itu di masjidnya sekitar tahun 1997, jumlah jemaahnya hanya dua-tiga orang saja. Tapi, ia terus berusaha meyakinkan para jemaahnya bahwa zikir berjemaah itu sangat besar faedahnya.
Dalam sebuah hadis dikatakan, “Sesungguhnya kelompok yang berzikir kepada Allah memperoleh empat perkara. Yaitu, turunnya ketenteraman pada mereka, rahmat akan menaungi mereka, para malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para makhluk yang ada di dekat-Nya.”

Arifin menyadari, untuk mengajak ke jalan kebaikan itu tidaklah mudah. Setelah bertahun-tahun berzikir di masjid dengan dua-tiga jemaah, belakangan mulai bertambah menjadi satu saf (sebaris shalat, sekitar 15 orang), dua saf, dan akhirnya masjid pun dipenuhi jemaah zikir. Setelah Arifin berulang kali tampil berzikir di layar tv, belakangan jumlah jemaah yang datang pun makin tak tertampung lagi di masjidnya. Apa boleh buat, ia pun terpaksa memasang tenda dan tikar di depan dan belakang rumahnya menuju ke masjid. Majelis zikir yang diselenggarakan setiap awal bulan itu didatangi puluhan ribu jemaah.

Kenapa zikir Arifin saat ini terasa begitu memikat? Syaefullah, mahasiswa program pascasarjana UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, menilai, kelebihan zikir yang dibawakan Ustad Arifin itu adalah sangat sederhana dan mudah dipahami semua orang.

Menurutnya, ada lima sebab utama kenapa zikir Arifin segera menasional.

Pertama, zikir beliau ini lepas, tidak terikat dengan pakem dan tarekat tertentu, sehingga setiap orang bisa mengikuti tanpa harus dibaeat (diambil sumpah).

Kedua, cara berzikirnya mudah diikuti oleh orang awam sekalipun, karena setiap kali selalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Ketiga, zikirnya itu bukan sekadar zikir, tapi ada muhasabahnya, yaitu usaha mengoreksi diri sendiri, sehingga setiap orang bisa langsung tersentuh.

Keempat, zikirnya ini bukan sekadar zikir lisan, tapi sampai ke hati, sehingga semua orang bisa menangis karenanya.

Kelima, zikirnya itu bisa diikuti oleh semua orang dari semua golongan,” paparnya. 

Arifin mengaku sudah beberapa kali mengalami kejadian yang nyaris merenggut nyawanya. Selain pernah nyaris mati tenggelam di sungai sewaktu kanak-kanak, kemudian digigit ular berbisa, Arifin juga nyaris mati saat melintasi rel kereta api di Citayam, Bogor, tahun 1996. Karena di perlintasan itu tidak ada pintunya, maka ia pun langsung saja melintasi rel itu. “Begitu masuk ternyata ada kereta lewat, sehingga pantat mobilnya tinggal beberapa sentimeter saja dengan badan kereta itu. Semua orang di jalan itu berteriak bahagia karena Arifin lolos dari maut,” kenangnya.

“Setahun berikutnya, Arifin juga nyaris mati ketika hampir tubrukan dengan truk. Jaraknya juga tinggal beberapa sentimeter saja,” lanjutnya. 

Budi Noor, yang juga tetangga Arifin, menyaksikan keajaiban lain. Suatu hari, usai shalat maghrib, ia melihat seberkas sinar di atas rumah ustad muda itu. Semula ia tidak percaya dengan pandangan matanya, kalau-kalau hanya sebuah halusinasi atau mimpi. Tapi, setelah beberapa kali ia mengusap matanya, ia yakin akan apa yang dilihatnya. Selama beberapa saat sinar itu tetap berada di situ sampai akhirnya berputar membentuk kerucut dan menghilang ke arah langit. Anehnya, hanya dia sendiri yang menyaksikan peristiwa itu. Karena, saat ia tanyakan kepada para tetangganya yang lain, mereka mengaku tidak menyaksikan sinar apa pun di atas rumah Arifin.

Syaefullah yang kini menjadi asisten Ustad Arifin juga merasakan sesuatu keanehan lain. “Bau keringatnya lain, tidak seperti manusia biasa,” ujarnya. “Saya merasakannya sendiri, baunya wangi. Saya yakin itu bukan bau minyak wangi, karena saya juga tahu bau minyak wangi.”

“Ia tidak hanya wangi, tapi juga smart dan tampan!” sambung Dr. H.M. Bhakty Kasry, Presiden Direktur PT Pandu Logistik, perusahaan jasa pengiriman. “Ia memiliki mata hati yang dalam dan mempunyai karisma yang tinggi. Nilai plus yang paling utama, ia mendapatkan hidayah dari Allah! Kalau tidak mendapatkan hidayah-Nya, mana mungkin jemaah pengajian dan zikirnya makin hari makin bertambah.

Puluhan ribu jemaah mendatangi pengajian yang diselenggarakan setiap awal bulan di masjidnya. Sebagai ustad muda, ia mampu menjalankan syariat agama dengan baik dan dengan konsentrasi tinggi. Dalam berbicara ia santun dan terbimbing. Ia mempunyai wawasan luas dan ilmu pengetahuan agamanya pun cukup, karena ia dibesarkan di pesantren. Ia memiliki visi yang jauh dan bisa bergaul dengan yang tua maupun yang muda. Sebelum menganjurkan kepada jemaah, jauh-jauh hari ia sudah melakukannya sendiri,” tambahnya.

Mengenal Arifin sekitar tiga tahun yang lalu, Bhakty merasa hubungannya jadi sangat dekat. Di antara mereka tidak hanya saling mengenal, tapi sudah seperti keluarga. “Kami sering silaturahmi, jalan bareng, dan berbagi rasa, seperti layaknya kakak dengan adik,” tambah pria pujakusuma (putra Jawa kelahiran Sumatra) ini. Ia mengakui, warna kehidupannya saat ini banyak dipengaruhi oleh Arifin.

Saat ini, selain secara intensif menjalankan tujuh sunah Rasul sesuai yang diajarkan Arifin, alumnus Institut Ilmu Keuangan ini juga mempercayakan Arifin untuk duduk sebagai komisaris di perusahaannya. Di pihak lain, Arifin mengakui peran Bhakty sangat besar dalam membantu aktivitas Majelis Zikir yang dipimpinnya. “Kami dan teman-teman di sini, Pak Bhakty yang menggaji. Bahkan, rumah dan kendaraan yang Arifin pakai adalah pemberiannya,” tuturnya jujur.

Abdul Syukur mengemukakan bahwa apa yang dijanjikan Allah itu memang terbukti dengan melihat keseharian ustad muda yang dikaguminya itu. “Seperti janji Allah, makin banyak kita memberikan infak dan sedekah, hidup kita makin berkah. Itu memang saya saksikan langsung pada kehidupan Ustad Arifin!” tandasnya. “Tangan kanannya, masya Allah... penuh hikmah, enteng sekali untuk beramal.

Bagi Ustad Arifin, tiada hari tanpa bersedekah karena dia sangat tanggap terhadap penderitaan orang lain. Kalau ada tetangga, teman, atau siapa saja yang ditimpa musibah, anaknya masuk sekolah tidak punya uang, atau kesulitan lain, tanpa diminta beliau pasti langsung membantu!”

Bertemu Jodoh
Kalau memang jodoh, tidak akan ke mana-mana! Begitu petuah orang tua. Kisah itulah yang terjadi pada pasangan Arifin dengan Wahyuniati Al-Waly, putri ketiga dari enam bersaudara dari mantan anggota DPR, Drs. Teuku Djamaris. Arifin pertama kali bertemu Yuni saat usai berceramah di kediaman keluarga H. Yusuf di Depok, bulan September 1997.

Saat itu Arifin tengah duduk menunggu antrean makan, begitu juga Yuni. Jarak di antara mereka sekitar tiga-empat meter. Tiba-tiba di antara keduanya saling beradu pandang dan keduanya pun saling tersenyum. Hanya beberapa detik saja adu pandang itu berlangsung dan setelah itu mereka pun pulang. Setelah itu, mereka pun tidak pernah saling bertemu, apalagi saling berbicara. 

Malam itu Yuni tidak pulang ke rumah orang tuanya di Kompleks DPR di Kalibata, karena ia memang berniat menginap di rumah sahabatnya, Fitrah, di Depok. Semula ia tidak berniat mengikuti pengajian itu, karena niatnya memang hanya ingin kangen-kangenan ke rumah sahabatnya yang sama-sama dari Padang itu. Karena itu, ia pun pergi ke pengajian dengan pakaian seadanya, yaitu celana jins, baju berwarna biru, dan kerudung putih. Tapi, ia tidak merasa rugi mendatangi pengajian itu. “Ustadnya masih muda, cakep, dan materi ceramahnya pun lumayan menarik,” kenangnya.

Meski yakin matanya tidak salah saat melihat kecantikan gadis itu, Arifin tidak mau mengumbar perasaannya. Ia tak berusaha mencari tahu siapa dan dari mana gadis itu. Ia biarkan kehidupannya mengalir sesuai kehendak-Nya. Sebagai makhluk yang berusaha menyerahkan seluruh kehidupannya hanya untuk Allah, dalam urusan jodoh pun ia pasrahkan seutuhnya kepada Sang Maha Kuasa. Setiap malam dia bangun kemudian salat tahajud dan berserah diri kepada-Nya. 

Sejak masih kuliah di Universitas Nasional, kemudian lulus kuliah, dan selanjutnya menjadi dosen di Universitas Borobudur, sudah beberapa kali ia berteman dengan wanita. Tapi, sejauh itu selalu saja gagal sampai ke pelaminan. 

Hari-hari pun berjalan, ternyata Tuhan belum pula menunjukkan tanda-tanda akan hadirnya seorang pujaan hati. Suatu hari, ada salah seorang temannya, Hasan Sandi, yang menawarinya berkenalan dengan seorang gadis. Katanya, “Ustad Arifin... mau tidak kalau saya kenalkan dengan seorang gadis. Dia seorang putri ulama.” 

“Mau, anaknya tinggal di mana?” Arifin balik bertanya. 

“Di Kalibata. Tapi, lebih baik kita ketemu di tempat lain saja, deh.” 

Suatu hari di bulan Februari 1998 Hasan menghubungi Arifin lagi. Ia mengundang Arifin untuk memberikan ceramah dalam acara syukuran menempati rumah baru. “Nanti saya kenalkan sekalian dengan gadis itu,” kata Hasan. Saat memasuki rumah itu, Arifin kaget ketika melihat salah satu foto yang terpampang di kamar tamu, yang rupanya pernah dia kenal. “Ini, lho, foto gadis itu,” kata Hasan sambil menunjuk foto itu.

Bertepatan dengan tangan Hasan menunjuk foto gadis itu, seperti disihir, gadis itu keluar bersama kedua orang tuanya. Hanya beberapa detik, karena setelah itu gadis yang mengenakan celana biru, baju biru, dan kerudung putih itu langsung masuk ke dalam lagi. Saat itu Arifin baru ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu sekitar enam bulan yang lalu, saat ia berceramah di Depok.

Kali ini Arifin benar-benar jatuh cinta. Sejak kedua kalinya bertemu gadis itu, ada perasaan yang aneh di hatinya. Bayang-bayang gadis kerudung putih itu terus mengusik kesendiriannya. Tapi, berbeda dengan kebanyakan muda-mudi lain, ia menyampaikan perasaan hatinya kepada Sang Maha Pencipta. Setiap kali bangun malam, ia langsung bersujud dan bersimpuh di hadapan-Nya. Sambil berdoa ia menangis dan memohon petunjuk agar diberikan pendamping hidup yang terbaik untuknya.

Selama ini, ia memang selalu memanfaatkan sepertiga malam yang terakhir untuk-Nya. Hanya, kini kualitas dan kuantitas penghambaannya kepada Allah itu kian ditingkatkan. Setiap malam ia shalat malam delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat. Memasuki hari kesebelas, ia tiba-tiba mengalami kelelahan yang luar biasa hingga ia pun tertidur. Di tengah kelelapan tidurnya, ia bermimpi seolah menjalankan ibadah umroh bersama gadis itu tepat tanggal 1 Muharam.

Arifin percaya, mimpinya kali ini bukan sekadar kembang tidur. “Ini adalah petunjuk Allah yang Arifin terjemahkan untuk menikah tanggal 1 Muharam,” tegasnya. Pagi-pagi, usai shalat subuh, ia langsung menelepon gadis itu. “Aku Muhammad Arifin Ilham,” katanya memulai pembicaraan. “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kamu.

Pertama, aku ingin menikah dengan kamu tanggal 1 Muharam.

Kedua, niatku ini karena Allah.

Ketiga, karena sunah Rasul.

Keempat, aku ingin terbang ke langit. Cuma sayang, sayapku cuma satu. Bagaimana kalau salah satu sayap itu adalah kamu?

Kelima, aku butuhkan jawabanmu besok pukul 5 pagi.”

Gadis itu terduduk lunglai. Berbagai perasaan menyelimuti kalbunya. Di satu sisi ia merasa tersanjung dan bahagia, tapi di sisi lain ia juga merasa sedih dan khawatir. Bagaimanapun, ia belum mengenal lelaki itu, walaupun ia seorang ustad. Sebagai gadis, selama ini ia belum pernah pacaran atau pergi berduaan dengan lelaki. Selain tidak suka pergi-pergi iseng, pendidikan ayahnya pun sangat ketat. Sudah beberapa kali ia dilamar, tapi selalu ditolak oleh kedua orang tuanya. Karena itu, awalnya ia gamang saat ingin menyampaikan lamaran Arifin itu.

Apa boleh buat, lamaran ‘mengagetkan’ dari ustad muda itu harus segera dia sampaikan kepada kedua orang tuanya, karena esok subuh sudah ditunggu jawabannya. Untunglah kedua orang tuanya menyetujuinya. Saat esok harinya, pukul 5 pagi, Arifin telepon dan yang menerima Yuni sendiri, ia yakin lamarannya bakal diterima.

Satu bulan kemudian, tepat tanggal 1 Muharam (28 April 1998), Arifin dan Yuni menikah di Masjid Baiturrahman di Kompleks DPR Kalibata. Dua sejoli ini ternyata banyak kesamaannya. Antara lain, Arifin maupun Yuni adalah alumni Pesantren Darunnajah dan Universitas Nasional. Hanya tenggang waktu mereka yang berbeda. Kedua kakek mereka sama-sama memiliki pesantren, yang namanya juga sama, Darussalam.

Kini, pasangan ini dikaruniai dua putra, Muhammad Alvin Faiz (4 Februari 1999) dan Muhammad Amer Adzikro (21 Desember 2000). Saat ini pasangan muda yang berbahagia ini tengah menantikan bayinya yang ketiga, yang diharapkan lahir pada bulan Oktober ini. “Saya sangat bahagia, doa saya dikabulkan oleh Allah,” tutur Yuni yang sehari-hari dipanggil ‘Sayang’ oleh suaminya.

Diceritakannya, sejak sekolah SMP sampai kemudian mengakhiri masa gadisnya, setiap kali usai shalat wajib ia selalu berdoa. Tanpa ada yang menyuruh dan tak ada yang mengajarinya, Yuni selalu memohon kepada Tuhan agar mendapatkan jodoh pria dengan 10 kriteria. Antara lain, pria yang saleh, beriman, ganteng, berkecukupan, terkenal, berakhlak mulia, disayang semua umat, bertanggung jawab, dan pintar. Katanya, “Alhamdulillah... semua yang saya mohon itu ternyata ada pada diri Kak Arifin!”




Sumber : Femina Online  Mualaf.com


Baca Juga :



Biografi K.H Ustad Muhammad Arifin Ilham – Bagian 3