Bagaimana
Arifin bisa lolos dari maut? Dan bagaimana kisah cintanya serta awalnya ia
mengajak ribuan umat untuk berzikir?
Nyaris
Meninggal
Ular
tangkapan Arifin itu diberi makan oleh Sulaeman, salah seorang jemaahnya. Pagi
itu Arifin kedatangan tamu, Cut Tursina, ibu angkatnya, seorang dokter gigi,
yang minta tolong diantar ke Parung untuk mencari pohon hias. Usai shalat duha
(salat sunah pagi hari), Arifin langsung naik ke mobil. Entah kenapa, mendadak
ia turun lagi untuk melihat ularnya.
Saat
naik ke mobil lagi ia memberi tahu Cut bahwa tangan kanannya digigit ular. Cut
mengajaknya ke dokter, tapi Arifin menolak karena merasa tidak ada gejala sakit
apa-apa di tubuhnya. Ia bahkan yang mengemudikan mobilnya. Mereka bertiga pun
berangkat sekitar pukul 10 pagi dan rencananya mereka akan mampir ke warung
untuk makan, sebelum mencari pohon hias. Tapi, sekitar 200 meter menjelang
warung makan langganan mereka di Parung, Arifin tiba-tiba mengeluh pandangan
matanya mulai kabur dan mulai sulit bernapas. Ia meminta kepada Cut untuk
menggantikannya mengemudi.
Cut
yakin bisa ular itu sudah bereaksi sehingga ia harus bertindak cepat untuk
melarikannya ke rumah sakit. Setelah keliling ke berbagai rumah sakit di Bogor
dan Parung, Arifin segera dibawa ke RS Bakti Yudha di Depok. Kondisi tubuh
Arifin benar-benar makin buruk saat tiba di rumah sakit itu sekitar pukul 12
siang. Cut dan Sulaeman bahkan sudah sempat menalkin (menuntun zikir bagi
mereka yang akan meninggal) Arifin.
Beberapa
menit sebelum akhirnya tak sadarkan diri, Arifin pun berdoa, “Ya, Allah...
kalau hamba tidak lagi bermanfaat hidup di dunia, segeralah hamba Kau panggil
ke haribaan-Mu. Tapi, kalau hidup hamba akan bermanfaat dunia-akhirat, maka
berilah kesempatan pada hamba untuk hidup.”
Setelah
memeriksa dan menyuntik Arifin dengan SABU (serum anti bisa ular), dokter
menganjurkan agar Arifin segera dibawa ke sebuah rumah sakit negeri yang sangat
besar di Jakarta Pusat. Tapi malang, sampai sore hari berada di ruang gawat
darurat, tubuh Arifin yang mulai menghitam itu tak segera disentuh oleh petugas
medis.
Cut
pun langsung memindahkannya ke RS Sint Carolus. Di rumah sakit inilah Arifin
mendapat pertolongan yang intensif. Selain memiliki peralatan yang lengkap,
pelayanannya cukup bagus. Saat itu juga Arifin dimasukkan ke ruang ICU, dan
tubuhnya langsung dipasang alat bantu pernapasan, infus, alat pacu jantung, dan
sebagainya.
Arifin
ditangani oleh dr. Memet Nataprawira, dokter ahli bedah pencernaan yang juga
ahli dalam menangani pasien yang digigit ular berbisa. Menurut dokter spesialis
lulusan UI tahun 1977 itu, saat Arifin datang kondisinya sudah sangat buruk.
Seperti umumnya pasien korban gigitan ular kobra atau ular laut, pernapasan
Arifin pun jadi terhenti karena yang diracuni adalah sarafnya. “Kalau tak
segera ditolong dengan pernapasan buatan, pernapasan korban bisa langsung
terhenti. Artinya, pasien akan mati,” katanya.
Melihat
keadaan pasiennya itu, ia sangat pesimistis Arifin akan bisa tertolong. “Selain
kondisi pasien sangat buruk, persediaan SABU di rumah sakit maupun di seluruh
apotek di Jakarta tidak ada. Dari kacamata medis, saya pesimistis pasien akan
bisa tertolong! Hanya karena Tuhan-lah pasien ini akhirnya bisa tertolong,”
jelas dokter Memet.
Ilham
Marzuki, ayah Arifin, yang datang di hari kedua bersama istrinya setelah
ditelepon Cut, hanya bisa pasrah ketika dipesan dr. Memet untuk bersabar dan
banyak berdoa. “Keadaan putra Bapak sudah sangat parah, 99% sudah tidak ada
harapan,” kata dr. Memet dengan sangat hati-hati. “Bapak sebaiknya banyak
berdoa dan kita serahkan jalan yang terbaik pada Allah. Hanya mukjizat
Allah-lah yang mampu menolong putra Bapak!”
Nurhayati,
ibunda Arifin, terus-menerus menangis sejak diberi tahu bahwa anaknya masuk
rumah sakit karena digigit ular. Ia bahkan nyaris pingsan ketika melihat anak
kesayangannya itu tak sadarkan diri. Belahan jiwa yang kini menjadi kebanggaan
keluarga itu, kini tengah menunggu malaikat maut. Tak ada tanda-tanda kehidupan
sama sekali, kecuali denyut jantung yang dibantu dengan alat pacu jantung, dan
tarikan napas yang dibantu dengan alat bantu pernapasan.
Esoknya,
saat memeriksa Arifin, dr. Memet melihat kaki pasiennya itu bergerak-gerak.
“Alhamdulillah... putra Bapak masih ada harapan untuk hidup. Kakinya sudah
mulai bergerak-gerak,” katanya kepada Ilham.
Ditambahkannya,
kalau seorang pasien yang masih koma itu tiba-tiba menggerakkan kakinya, maka
harapan hidup pasien itu cukup tinggi. “Fisik pasien ini memang sangat prima.
Dari hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa otak, jantung, ginjal, maupun
paru-parunya bagus tidak terkena racun bisa, sehingga akhirnya lolos dari
maut,” tutur dr. Memet.
Zikirnya
Mudah dipahami
Arifin
bersyukur kesehatannya secara bertahap pulih kembali, setelah 21 hari mengalami
koma. Setelah sebulan menunggui Arifin di rumah sakit, ayahnya pun kembali ke
Kalimantan, sementara ibunya menemaninya di rumahnya di Depok. Perlahan-lahan
lumpuh pada kaki dan tangannya mulai sirna, dan belakangan tinggal matanya yang
silau setiap kali melihat cahaya. Tapi, tak lama kemudian keadaan matanya
berangsur membaik. Ia juga sudah mulai aktif kembali ke Masjid Al-Amru
Bit-Taqwa, masjid yang didirikan olehnya bersama tetangganya di Perumahan
Mampang Indah II, Depok. Selain berceramah, ia mulai lagi memperbanyak zikir
berjemaah (zikir bersama-sama).
Budi
Noor dan Abdul Syukur, orang dekat Arifin, mengemukakan bahwa zikir berjemaah
itu sudah dilakukan jauh sebelum Arifin mengalami koma akibat digigit ular.
“Saya rasa keliru kalau menganggap Ustad Arifin berzikir setelah digigit ular
kobra dan lolos dari maut. Jauh sebelum itu Ustad Arifin sudah sering kali
memimpin jemaah zikir!” tandas keduanya.
Arifin
juga mengelak anggapan beberapa media bahwa ia berzikir sebagai ungkapan rasa
syukur karena telah lolos dari maut. “Arifin berzikir karena ingin mencintai
Allah secara lebih total! Arifin prihatin melihat kenyataan umat Islam yang
saat ini sedang terpuruk, dizalimi, difitnah, dan ditindas. Anehnya, umat Islam
yang di Indonesia katanya mayoritas ini, ternyata tak berdaya sama sekali untuk
melawannya. Ia sedih, para koruptor besar bebas dari hukuman, sementara orang
yang belum tentu bersalah sudah menerima hukuman berat,” lanjutnya lagi.
Arifin
kemudian menceritakan bahwa saat ia memperkenalkan zikir berjemaah itu di
masjidnya sekitar tahun 1997, jumlah jemaahnya hanya dua-tiga orang saja. Tapi,
ia terus berusaha meyakinkan para jemaahnya bahwa zikir berjemaah itu sangat
besar faedahnya.
Dalam
sebuah hadis dikatakan, “Sesungguhnya kelompok yang berzikir kepada Allah
memperoleh empat perkara. Yaitu, turunnya ketenteraman pada mereka, rahmat akan
menaungi mereka, para malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah
menyebut-nyebut mereka di hadapan para makhluk yang ada di dekat-Nya.”
Arifin
menyadari, untuk mengajak ke jalan kebaikan itu tidaklah mudah. Setelah
bertahun-tahun berzikir di masjid dengan dua-tiga jemaah, belakangan mulai
bertambah menjadi satu saf (sebaris shalat, sekitar 15 orang), dua saf, dan
akhirnya masjid pun dipenuhi jemaah zikir. Setelah Arifin berulang kali tampil
berzikir di layar tv, belakangan jumlah jemaah yang datang pun makin tak
tertampung lagi di masjidnya. Apa boleh buat, ia pun terpaksa memasang tenda
dan tikar di depan dan belakang rumahnya menuju ke masjid. Majelis zikir yang
diselenggarakan setiap awal bulan itu didatangi puluhan ribu jemaah.
Kenapa
zikir Arifin saat ini terasa begitu memikat? Syaefullah, mahasiswa program
pascasarjana UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, menilai,
kelebihan zikir yang dibawakan Ustad Arifin itu adalah sangat sederhana dan
mudah dipahami semua orang.
Menurutnya,
ada lima sebab utama kenapa zikir Arifin segera menasional.
Pertama,
zikir beliau ini lepas, tidak terikat dengan pakem dan tarekat tertentu,
sehingga setiap orang bisa mengikuti tanpa harus dibaeat (diambil sumpah).
Kedua,
cara berzikirnya mudah diikuti oleh orang awam sekalipun, karena setiap kali
selalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ketiga,
zikirnya itu bukan sekadar zikir, tapi ada muhasabahnya, yaitu usaha mengoreksi
diri sendiri, sehingga setiap orang bisa langsung tersentuh.
Keempat,
zikirnya ini bukan sekadar zikir lisan, tapi sampai ke hati, sehingga semua
orang bisa menangis karenanya.
Kelima,
zikirnya itu bisa diikuti oleh semua orang dari semua golongan,” paparnya.
Arifin
mengaku sudah beberapa kali mengalami kejadian yang nyaris merenggut nyawanya.
Selain pernah nyaris mati tenggelam di sungai sewaktu kanak-kanak, kemudian
digigit ular berbisa, Arifin juga nyaris mati saat melintasi rel kereta api di
Citayam, Bogor, tahun 1996. Karena di perlintasan itu tidak ada pintunya, maka
ia pun langsung saja melintasi rel itu. “Begitu masuk ternyata ada kereta
lewat, sehingga pantat mobilnya tinggal beberapa sentimeter saja dengan badan
kereta itu. Semua orang di jalan itu berteriak bahagia karena Arifin lolos dari
maut,” kenangnya.
“Setahun
berikutnya, Arifin juga nyaris mati ketika hampir tubrukan dengan truk.
Jaraknya juga tinggal beberapa sentimeter saja,” lanjutnya.
Budi
Noor, yang juga tetangga Arifin, menyaksikan keajaiban lain. Suatu hari, usai
shalat maghrib, ia melihat seberkas sinar di atas rumah ustad muda itu. Semula
ia tidak percaya dengan pandangan matanya, kalau-kalau hanya sebuah halusinasi
atau mimpi. Tapi, setelah beberapa kali ia mengusap matanya, ia yakin akan apa
yang dilihatnya. Selama beberapa saat sinar itu tetap berada di situ sampai
akhirnya berputar membentuk kerucut dan menghilang ke arah langit. Anehnya,
hanya dia sendiri yang menyaksikan peristiwa itu. Karena, saat ia tanyakan
kepada para tetangganya yang lain, mereka mengaku tidak menyaksikan sinar apa
pun di atas rumah Arifin.
Syaefullah
yang kini menjadi asisten Ustad Arifin juga merasakan sesuatu keanehan lain.
“Bau keringatnya lain, tidak seperti manusia biasa,” ujarnya. “Saya
merasakannya sendiri, baunya wangi. Saya yakin itu bukan bau minyak wangi,
karena saya juga tahu bau minyak wangi.”
“Ia
tidak hanya wangi, tapi juga smart dan tampan!” sambung Dr. H.M. Bhakty Kasry,
Presiden Direktur PT Pandu Logistik, perusahaan jasa pengiriman. “Ia memiliki
mata hati yang dalam dan mempunyai karisma yang tinggi. Nilai plus yang paling
utama, ia mendapatkan hidayah dari Allah! Kalau tidak mendapatkan hidayah-Nya,
mana mungkin jemaah pengajian dan zikirnya makin hari makin bertambah.
Puluhan
ribu jemaah mendatangi pengajian yang diselenggarakan setiap awal bulan di
masjidnya. Sebagai ustad muda, ia mampu menjalankan syariat agama dengan baik
dan dengan konsentrasi tinggi. Dalam berbicara ia santun dan terbimbing. Ia
mempunyai wawasan luas dan ilmu pengetahuan agamanya pun cukup, karena ia
dibesarkan di pesantren. Ia memiliki visi yang jauh dan bisa bergaul dengan
yang tua maupun yang muda. Sebelum menganjurkan kepada jemaah, jauh-jauh hari
ia sudah melakukannya sendiri,” tambahnya.
Mengenal
Arifin sekitar tiga tahun yang lalu, Bhakty merasa hubungannya jadi sangat
dekat. Di antara mereka tidak hanya saling mengenal, tapi sudah seperti
keluarga. “Kami sering silaturahmi, jalan bareng, dan berbagi rasa, seperti
layaknya kakak dengan adik,” tambah pria pujakusuma (putra Jawa kelahiran
Sumatra) ini. Ia mengakui, warna kehidupannya saat ini banyak dipengaruhi oleh
Arifin.
Saat
ini, selain secara intensif menjalankan tujuh sunah Rasul sesuai yang diajarkan
Arifin, alumnus Institut Ilmu Keuangan ini juga mempercayakan Arifin untuk
duduk sebagai komisaris di perusahaannya. Di pihak lain, Arifin mengakui peran
Bhakty sangat besar dalam membantu aktivitas Majelis Zikir yang dipimpinnya.
“Kami dan teman-teman di sini, Pak Bhakty yang menggaji. Bahkan, rumah dan
kendaraan yang Arifin pakai adalah pemberiannya,” tuturnya jujur.
Abdul
Syukur mengemukakan bahwa apa yang dijanjikan Allah itu memang terbukti dengan
melihat keseharian ustad muda yang dikaguminya itu. “Seperti janji Allah, makin
banyak kita memberikan infak dan sedekah, hidup kita makin berkah. Itu memang
saya saksikan langsung pada kehidupan Ustad Arifin!” tandasnya. “Tangan
kanannya, masya Allah... penuh hikmah, enteng sekali untuk beramal.
Bagi
Ustad Arifin, tiada hari tanpa bersedekah karena dia sangat tanggap terhadap
penderitaan orang lain. Kalau ada tetangga, teman, atau siapa saja yang ditimpa
musibah, anaknya masuk sekolah tidak punya uang, atau kesulitan lain, tanpa
diminta beliau pasti langsung membantu!”
Bertemu
Jodoh
Kalau
memang jodoh, tidak akan ke mana-mana! Begitu petuah orang tua. Kisah itulah
yang terjadi pada pasangan Arifin dengan Wahyuniati Al-Waly, putri ketiga dari
enam bersaudara dari mantan anggota DPR, Drs. Teuku Djamaris. Arifin pertama
kali bertemu Yuni saat usai berceramah di kediaman keluarga H. Yusuf di Depok,
bulan September 1997.
Saat
itu Arifin tengah duduk menunggu antrean makan, begitu juga Yuni. Jarak di
antara mereka sekitar tiga-empat meter. Tiba-tiba di antara keduanya saling
beradu pandang dan keduanya pun saling tersenyum. Hanya beberapa detik saja adu
pandang itu berlangsung dan setelah itu mereka pun pulang. Setelah itu, mereka
pun tidak pernah saling bertemu, apalagi saling berbicara.
Malam
itu Yuni tidak pulang ke rumah orang tuanya di Kompleks DPR di Kalibata, karena
ia memang berniat menginap di rumah sahabatnya, Fitrah, di Depok. Semula ia
tidak berniat mengikuti pengajian itu, karena niatnya memang hanya ingin
kangen-kangenan ke rumah sahabatnya yang sama-sama dari Padang itu. Karena itu,
ia pun pergi ke pengajian dengan pakaian seadanya, yaitu celana jins, baju
berwarna biru, dan kerudung putih. Tapi, ia tidak merasa rugi mendatangi
pengajian itu. “Ustadnya masih muda, cakep, dan materi ceramahnya pun lumayan
menarik,” kenangnya.
Meski
yakin matanya tidak salah saat melihat kecantikan gadis itu, Arifin tidak mau
mengumbar perasaannya. Ia tak berusaha mencari tahu siapa dan dari mana gadis
itu. Ia biarkan kehidupannya mengalir sesuai kehendak-Nya. Sebagai makhluk yang
berusaha menyerahkan seluruh kehidupannya hanya untuk Allah, dalam urusan jodoh
pun ia pasrahkan seutuhnya kepada Sang Maha Kuasa. Setiap malam dia bangun
kemudian salat tahajud dan berserah diri kepada-Nya.
Sejak
masih kuliah di Universitas Nasional, kemudian lulus kuliah, dan selanjutnya
menjadi dosen di Universitas Borobudur, sudah beberapa kali ia berteman dengan
wanita. Tapi, sejauh itu selalu saja gagal sampai ke pelaminan.
Hari-hari
pun berjalan, ternyata Tuhan belum pula menunjukkan tanda-tanda akan hadirnya
seorang pujaan hati. Suatu hari, ada salah seorang temannya, Hasan Sandi, yang
menawarinya berkenalan dengan seorang gadis. Katanya, “Ustad Arifin... mau
tidak kalau saya kenalkan dengan seorang gadis. Dia seorang putri ulama.”
“Mau,
anaknya tinggal di mana?” Arifin balik bertanya.
“Di
Kalibata. Tapi, lebih baik kita ketemu di tempat lain saja, deh.”
Suatu
hari di bulan Februari 1998 Hasan menghubungi Arifin lagi. Ia mengundang Arifin
untuk memberikan ceramah dalam acara syukuran menempati rumah baru. “Nanti saya
kenalkan sekalian dengan gadis itu,” kata Hasan. Saat memasuki rumah itu,
Arifin kaget ketika melihat salah satu foto yang terpampang di kamar tamu, yang
rupanya pernah dia kenal. “Ini, lho, foto gadis itu,” kata Hasan sambil
menunjuk foto itu.
Bertepatan
dengan tangan Hasan menunjuk foto gadis itu, seperti disihir, gadis itu keluar
bersama kedua orang tuanya. Hanya beberapa detik, karena setelah itu gadis yang
mengenakan celana biru, baju biru, dan kerudung putih itu langsung masuk ke
dalam lagi. Saat itu Arifin baru ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu
sekitar enam bulan yang lalu, saat ia berceramah di Depok.
Kali
ini Arifin benar-benar jatuh cinta. Sejak kedua kalinya bertemu gadis itu, ada
perasaan yang aneh di hatinya. Bayang-bayang gadis kerudung putih itu terus
mengusik kesendiriannya. Tapi, berbeda dengan kebanyakan muda-mudi lain, ia
menyampaikan perasaan hatinya kepada Sang Maha Pencipta. Setiap kali bangun
malam, ia langsung bersujud dan bersimpuh di hadapan-Nya. Sambil berdoa ia
menangis dan memohon petunjuk agar diberikan pendamping hidup yang terbaik
untuknya.
Selama
ini, ia memang selalu memanfaatkan sepertiga malam yang terakhir untuk-Nya.
Hanya, kini kualitas dan kuantitas penghambaannya kepada Allah itu kian
ditingkatkan. Setiap malam ia shalat malam delapan rakaat ditambah witir tiga
rakaat. Memasuki hari kesebelas, ia tiba-tiba mengalami kelelahan yang luar
biasa hingga ia pun tertidur. Di tengah kelelapan tidurnya, ia bermimpi seolah
menjalankan ibadah umroh bersama gadis itu tepat tanggal 1 Muharam.
Arifin
percaya, mimpinya kali ini bukan sekadar kembang tidur. “Ini adalah petunjuk
Allah yang Arifin terjemahkan untuk menikah tanggal 1 Muharam,” tegasnya.
Pagi-pagi, usai shalat subuh, ia langsung menelepon gadis itu. “Aku Muhammad
Arifin Ilham,” katanya memulai pembicaraan. “Aku ingin mengatakan sesuatu
kepada kamu.
Pertama,
aku ingin menikah dengan kamu tanggal 1 Muharam.
Kedua,
niatku ini karena Allah.
Ketiga,
karena sunah Rasul.
Keempat,
aku ingin terbang ke langit. Cuma sayang, sayapku cuma satu. Bagaimana kalau salah satu sayap itu adalah kamu?
Kelima,
aku butuhkan jawabanmu besok pukul 5 pagi.”
Gadis
itu terduduk lunglai. Berbagai perasaan menyelimuti kalbunya. Di satu sisi ia
merasa tersanjung dan bahagia, tapi di sisi lain ia juga merasa sedih dan
khawatir. Bagaimanapun, ia belum mengenal lelaki itu, walaupun ia seorang
ustad. Sebagai gadis, selama ini ia belum pernah pacaran atau pergi berduaan
dengan lelaki. Selain tidak suka pergi-pergi iseng, pendidikan ayahnya pun
sangat ketat. Sudah beberapa kali ia dilamar, tapi selalu ditolak oleh kedua
orang tuanya. Karena itu, awalnya ia gamang saat ingin menyampaikan lamaran
Arifin itu.
Apa
boleh buat, lamaran ‘mengagetkan’ dari ustad muda itu harus segera dia
sampaikan kepada kedua orang tuanya, karena esok subuh sudah ditunggu
jawabannya. Untunglah kedua orang tuanya menyetujuinya. Saat esok harinya,
pukul 5 pagi, Arifin telepon dan yang menerima Yuni sendiri, ia yakin
lamarannya bakal diterima.
Satu
bulan kemudian, tepat tanggal 1 Muharam (28 April 1998), Arifin dan Yuni
menikah di Masjid Baiturrahman di Kompleks DPR Kalibata. Dua sejoli ini
ternyata banyak kesamaannya. Antara lain, Arifin maupun Yuni adalah alumni
Pesantren Darunnajah dan Universitas Nasional. Hanya tenggang waktu mereka yang
berbeda. Kedua kakek mereka sama-sama memiliki pesantren, yang namanya juga
sama, Darussalam.
Kini,
pasangan ini dikaruniai dua putra, Muhammad Alvin Faiz (4 Februari 1999) dan
Muhammad Amer Adzikro (21 Desember 2000). Saat ini pasangan muda yang berbahagia
ini tengah menantikan bayinya yang ketiga, yang diharapkan lahir pada bulan
Oktober ini. “Saya sangat bahagia, doa saya dikabulkan oleh Allah,” tutur Yuni
yang sehari-hari dipanggil ‘Sayang’ oleh suaminya.
Diceritakannya,
sejak sekolah SMP sampai kemudian mengakhiri masa gadisnya, setiap kali usai
shalat wajib ia selalu berdoa. Tanpa ada yang menyuruh dan tak ada yang
mengajarinya, Yuni selalu memohon kepada Tuhan agar mendapatkan jodoh pria
dengan 10 kriteria. Antara lain, pria yang saleh, beriman, ganteng,
berkecukupan, terkenal, berakhlak mulia, disayang semua umat, bertanggung
jawab, dan pintar. Katanya, “Alhamdulillah... semua yang saya mohon itu
ternyata ada pada diri Kak Arifin!”
Baca Juga :
Biografi
K.H Ustad Muhammad Arifin Ilham – Bagian 3