ISLAM
CHANNEL --
Awalnya ia bekerja sebagai musisi di gereja sekaligus penginjil. Namun kini, ia
berkeliling dunia dan telah banyak mengislamkan orang. Yusuf
Estes
lahir tahun 1944 di Ohio, AS. Tahun 1962 hingga 1990 ia bekerja sebagai musisi
di gereja, penginjil sekaligus mengelola bisnis alat musik piano dan organ.
Awal 1991 ia terlibat bisnis dengan seorang pengusaha Muslim asal Mesir bernama
Muhammad Abd Rahim. Awalnya ia bermaksud meng-Kristenkan pria Mesir itu. Namun
akhirnya ia justru memeluk Islam diikuti oleh istri, anak-anak, ayah serta
mertuanya.
Ia menguasai bahasa Arab secara aktif, demikian juga ilmu Al-Quran selepas belajar di Mesir, Maroko dan Turki. Sejak 2006, Yusuf Estes secara regular tampil di PeaceTV, Huda TV, demikian pula IslamChannel yang bermarkas di Inggris. Ia juga muncul dalam serial televisi Islam untuk anak-anak bertajuk “Qasas Ul Anbiya” yang bercerita tentang kisah-kisah para Nabi.
Yusuf terlibat aktif di berbagai aktifitas dakwah. Misalnya, ia menjadi imam tetap di markas militer AS di Texas, da’i di penjara sejak tahun 1994, dan pernah menjadi delegasi PBB untuk perdamaian dunia. Syekh Yusuf telah meng-Islam-kan banyak kalangan, dari birokrat, guru, hingga pelajar. Berikut kisah Syekh Yusuf sebagaimana dituturkannya di situs www.islamtomorrow.com.
Nama saya Yusuf Estes. Saat ini saya dipercaya memimpin sebuah organisasi bagi Muslim asli Amerika. Kini sepanjang hidup saya, saya berikan untuk Islam. Saya berkeliling dunia untuk memberikan ceramah dan berbagi pengalaman bagaimana Islam hadir dalam diri saya. Organisasi kami terbuka untuk berdialog dengan berbagai kalangan. Misalnya para pemuka agama seperti pendeta, rabi (ulama kaum Yahudi-red) dan lainnya dimanapun mereka berada.
Kebanyakan medan kerja kami adalah kawasan institusional seperti pusat militer, universitas, hingga penjara. Tujuan utama adalah untuk menunjukkan Islam yang sebenarnya dan memperkenalkan bagaimana hidup sebagai seorang Muslim. Meskipun Islam saat ini berkembang sebagai salah satu agama terbesar kedua setelah Kristen, namun masih banyak saja terjadi mis-informasi tentang Islam. Misalnya Islam selalu diidentikkan dengan hal berbau Arab.
Banyak orang bertanya pada saya bagaimana mungkin seorang pendeta atau pastur Kristen bisa masuk Islam. Padahal tiap hari kami menyampaikan kebenaran Kristen. Belum lagi dengan berita-berita negatif tentang perilaku buruk Islam di media. Pasti tidak ada orang yang tertarik dengan Islam. Pernah seorang pria Kristen bertanya pada saya melalui e-mail kenapa dan bagaimana saya meninggalkan Kristen dan masuk Islam. Saya berterima kasih pada semua yang bersedia mendengar kisah saya berikut ini. Semoga Allah ridha.
Ia menguasai bahasa Arab secara aktif, demikian juga ilmu Al-Quran selepas belajar di Mesir, Maroko dan Turki. Sejak 2006, Yusuf Estes secara regular tampil di PeaceTV, Huda TV, demikian pula IslamChannel yang bermarkas di Inggris. Ia juga muncul dalam serial televisi Islam untuk anak-anak bertajuk “Qasas Ul Anbiya” yang bercerita tentang kisah-kisah para Nabi.
Yusuf terlibat aktif di berbagai aktifitas dakwah. Misalnya, ia menjadi imam tetap di markas militer AS di Texas, da’i di penjara sejak tahun 1994, dan pernah menjadi delegasi PBB untuk perdamaian dunia. Syekh Yusuf telah meng-Islam-kan banyak kalangan, dari birokrat, guru, hingga pelajar. Berikut kisah Syekh Yusuf sebagaimana dituturkannya di situs www.islamtomorrow.com.
Nama saya Yusuf Estes. Saat ini saya dipercaya memimpin sebuah organisasi bagi Muslim asli Amerika. Kini sepanjang hidup saya, saya berikan untuk Islam. Saya berkeliling dunia untuk memberikan ceramah dan berbagi pengalaman bagaimana Islam hadir dalam diri saya. Organisasi kami terbuka untuk berdialog dengan berbagai kalangan. Misalnya para pemuka agama seperti pendeta, rabi (ulama kaum Yahudi-red) dan lainnya dimanapun mereka berada.
Kebanyakan medan kerja kami adalah kawasan institusional seperti pusat militer, universitas, hingga penjara. Tujuan utama adalah untuk menunjukkan Islam yang sebenarnya dan memperkenalkan bagaimana hidup sebagai seorang Muslim. Meskipun Islam saat ini berkembang sebagai salah satu agama terbesar kedua setelah Kristen, namun masih banyak saja terjadi mis-informasi tentang Islam. Misalnya Islam selalu diidentikkan dengan hal berbau Arab.
Banyak orang bertanya pada saya bagaimana mungkin seorang pendeta atau pastur Kristen bisa masuk Islam. Padahal tiap hari kami menyampaikan kebenaran Kristen. Belum lagi dengan berita-berita negatif tentang perilaku buruk Islam di media. Pasti tidak ada orang yang tertarik dengan Islam. Pernah seorang pria Kristen bertanya pada saya melalui e-mail kenapa dan bagaimana saya meninggalkan Kristen dan masuk Islam. Saya berterima kasih pada semua yang bersedia mendengar kisah saya berikut ini. Semoga Allah ridha.
***
Saya
lahir di Ohio, besar dan bersekolah di Texas. Dalam tubuh saya mengalir darah
Amerika, Irlandia dan Jerman hingga sering disebut WASP (White Anglo Saxon
Protestant). Keluarga kami adalah penganut Kristen yang sangat taat. Tahun
1949, ketika masih di bangku SD kami pindah ke Houston, Texas. Saya dan
keluarga sering hadir secara rutin ke gereja. Malah saya dibaptis pada usia 12
tahun di Pasadena, Texas.
Sebagai
seorang remaja, saya punya keinginan untuk bisa berkunjung ke banyak gereja di
berbagai tempat guna menambah pengalaman dan pengetahuan Kristen. Kala itu saya
benar-benar haus untuk mempelajari ajaran Kristen. Tidak hanya ajaran Kristen,
bahkan ajaran Hindu, Budha, Yahudi, hingga Metafisika juga saya pelajari. Hanya
satu ajaran yang saya tidak begitu serius dan bahkan tidak menaruh perhatian
sama sekali, yakni Islam.
Saya
suka musik terutama klasik. Hingga saya sering dapat undangan menyanyi di
berbagai gereja. Di kisaran tahun 1960-an saya mengajar musik dan tahun 1963
punya studio sendiri di Laurel, Maryland yang saya beri nama “Estes Music
Studios.” Hingga tahun 1990 atau hampir 30 tahun lamanya saya bersama dengan
ayah mengelola bisnis entertainment. Kami juga punya toko alat musik piano dan
organ di Texas, Oklahoma hingga Florida.
Ayah
dulu pernah aktif dalam aneka kegiatan gereja. Dari sekolah minggu hingga
aktifitas penggalangan dana bagi pengembangan sekolah Kristen. Dia sangat
menguasai Bibel dan juga terjemahannya. Melalui ayah pula saya belajar Bibel
dalam berbagai versi dan terjemahan.
Ayah
saya, seperti kebanyakan pendeta lainnya, selalu mendapat pertanyaan: ”Apakah
Tuhan yang menulis Bibel?” Biasanya jawabannya adalah: “Bibel adalah rangkaian
kata inspirasi seorang lelaki yang berasal dari Tuhan.” Itu bermakna, menurut
saya, manusialah yang menulis Bibel. Tentu saja, selama bertahun-tahun, jawaban
itu menimbulkan banyak tanggapan bahkan penolakan. Namun ayah selalu
menambahkan, ”Akan tetapi (Bibel) itu tetap kata dari Tuhan yang diilhamkan
kepada manusia.” Begitulah.
Beranjak
dewasa dan memiliki usaha sendiri, akhirnya saya “menyerah”. Saya tidak mungkin
jadi seorang pendeta. Saya takut bermental hipokrit. Saya belum bisa menerima
tentang konsep Tuhan itu satu namun pada saat yang sama Dia menjadi “Tiga” atau
Trinitas. Saya selalu bertanya-tanya, jika Dia “Tuhan Bapa” bagaimana mungkin
pada saat yang sama juga menjadi “Anak Tuhan?”
Selama
bertahun-tahun saya mencoba mencari Tuhan dengan berbagai cara. Saya pelajari
dan cek dalam agama Budha, Hindu Metafisika, Taoisme, Yahudi dan banyak lagi.
Bertahun-tahun saya pelajari hingga mendekati usia ke-50 saya belum menemukan
siapa Tuhan yang sebenarnya. Lalu saya mencoba bergaul dengan banyak kalangan,
termasuk dengan para evangelis dan penginjil yang punya pengalaman di berbagai
tempat dan negara.
Kami
sering melakukan perjalanan jauh. Namun tidak ada jawaban yang memuaskan. Tidak
ada yang mau menjawab siapa yang menulis Bibel sebenarnya, kenapa Bibel banyak
versi padahal bukunya sama, kenapa banyak sekali terdapat kesalahan versi
terkini dengan versi terdahulu. Dan, bahkan, dalam berbagai versi Bibel, saya
tidak menemukan satupun kata “Trinitas.”
Kolega
saya akhirnya tidak mampu meyakinkan saya. Mereka lelah mencari jawaban yang
tepat atas pertanyaan-pertanyaan “nyeleneh” tersebut. Sampai akhirnya datanglah
satu kejadian yang merupakan awal perjumpaan saya dengan Islam. Kejadian yang
akhirnya meruntuhkan semua konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang telah
membebani saya selama bertahun-tahun. Solusi dan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan saya datang justru dengan cara, yang menurut saya, aneh
dan ganjil.
Ceritanya,
awal 1991 ayah mencoba menjalin bisnis dengan seorang pengusaha dari Mesir. Ia
meminta saya untuk bertemu dengan pria Mesir itu. Bagi saya inilah kali pertama
mengadakan kontak bisnis internasional. Yang saya tahu tentang Mesir adalah
piramid, patung Sphinx, dan sungai Nil. Hanya itu. Lalu ayah menyebut bahwa
pria itu seorang Muslim.
Apa?
Islam? Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Menjalin hubungan dengan
orang Islam? Spontan batin saya menolak. Tidak, no way! Saya mengingatkan ayah
agar membatalkan kontak dengan pria itu dengan menyebut hal-hal negatif tentang
orang Islam. Orang Islam teroris, pembajak, penculik, pengebom, dan entah apa lagi.
Saya sebut juga mereka (orang Islam) tidak percaya dengan Tuhan, tiap hari
kerjanya mencium tanah lima kali sehari, dan menyembah kotak hitam di tengah
padang pasir (maksudnya Ka’bah-red.). Tidak! Saya tidak mau jumpa orang itu.
Ayah
tetap mendesak. Ia menyebut orang itu sangat ramah dan baik hati. Akhirnya saya
menyerah dan bersedia bertemu dengan pengusaha Islam tersebut. Tapi untuk
pertemuan tersebut saya buat semacam “aturan” khusus. Antara lain; saya mau
bertemu dengannya pada hari Minggu setelah kegiatan di gereja, sehingga punya
“kekuatan” kala bertemu nanti. Saya musti bawa Bibel, pakai baju jubah dan peci
ala gereja bertuliskan “Yesus Tuhan Kami.” Istri dan kedua anak perempuan saya
juga harus datang di saat pertemuan pertama kali dengan orang Islam itu.
Tibalah
hari H, ketika saya masuk toko, langsung saya tanya pada ayah mana orang Islam
itu. Ayah menunjuk seorang laki-laki di dekatnya. Mendadak saya dilanda
kebingungan. Ah sepertinya pria itu bukan si Islam yang dimaksud. Hati saya
membatin. Penampilannya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Laki-laki
asal Mesir itu tidak berjanggut, bahkan tidak punya rambut sama sekali alias
botak. Ia tidak bersorban dan tidak pula berjubah. Malah pakai jas.
Spontan
saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mengamati orang-orang yang
hadir. Saya mencari-cari orang yang pakai jubah dengan surban melilit di
kepalanya, berjenggot lebat serta alis mata tebal. Khas orang Arab. Namun tidak
ada seorangpun yang memenuhi kriteria saya. Yang lebih mengejutkan, pria itu
malah menegur saya dengan sangat ramah. Ia menyambut dan menjabat tangan saya
dengan hangat. Namun saya tidak terkesan dengan tingkahnya itu. Hanya ada satu
pikiran, yakni bagaimana meng-Kristenkan pria Mesir itu.
Selepas
perkenalan singkat, saya pun mulai “menginterogasi” pria Mesir tersebut. Anda
percaya dengan Tuhan? tanya saya mengawali. Pria itu menjawab ya.
Saya
mencocornya lagi dengan rentetan pertanyaan lain seperti keyakinan Islam kepada
Nabi Adam, Ibrahim. Musa, Daud,
Sulaiman hingga Isa Al-Masih. Saya dibuat terpana kala mendengar jawabannya. Ia
menjelaskan Islam percaya dengan Nabi-Nabi yang saya sebut tadi. Bahkan makin ternganga
kala diberitahu Islam juga beriman dengan salah satu Kitab Allah yakni Injil
dan Nabi Isa adalah salah satu utusan-Nya. Fantastik!
Yang bikin saya syok adalah tatkala mengetahui ternyata Islam juga percaya
dengan Almasih (baca: Nabi Isa). Dalam Islam ternyata Isa diimani; sebagai
utusan Tuhan dan bukan Tuhan, lahir tanpa seorang ayah, ibunya adalah Maryam.
Ini sudah lebih dari cukup bagi saya untuk mempelajari Islam lebih lanjut. Ah
padahal sebelumnya saya sangat benci dengan Islam. Kini saya harus
mempelajarinya? Bagaimana mungkin?
Akhirnya
kami jadi sering bertemu dan berdiskusi terutama tentang keimanan. Pria ini
sangat lain. Ramah, kalem, dan terkesan pemalu. Ia mendengar dengan serius
setiap kata-kata saya dan tidak menyela sedikitpun. Lama kelamaan saya jadi
menyukai pria itu. Namun waktu itu yang masih terpikir oleh saya adalah mencari
cara untuk mengajaknya masuk Kristen. Orang ini sangat potensial menurut saya.
Saya
akhirnya setuju untuk menjalin bisnis dengan pengusaha Mesir itu. Kami sering
mengadakan perjalanan bisnis di sepanjang kawasan Utara Texas. Sepanjang hari
kami justru banyak berdiskusi hal keyakinan Islam dan Kristen ketimbang masalah
bisnis. Kami bicara tentang konsep Tuhan, arti hidup, maksud penciptaan manusia
dan alam serta isinya, tentang Nabi, dan banyak lainnya lagi.
Satu
ketika saya dapat kabar Muhammad bermaksud pindah rumah. Selama ini ia tinggal
bersama dengan seorang temannya. Ia berencana untuk tinggal di mesjid selama
beberapa waktu. Saya dan ayah mengajaknya tinggal di rumah kami saja. Ia pun
setuju.
Satu
ketika salah seorang teman saya –seorang pendeta- mengalami serangan jantung.
Kami membawanya ke rumah sakit terdekat dan tinggal beberapa saat disana. Saya
pun mesti menjenguknya beberapa kali dalam seminggu. Muhammad sering saya ajak
serta. Rupanya teman saya itu tidak begitu suka. Bahkan ia dengan nyata menolak
berdiskusi apapun tentang Islam. Hingga satu hari datang pasien baru. Seorang
pria yang kemudian tinggal satu kamar di rumah sakit dengan teman saya. Ia
menggunakan kursi roda. Saya berkenalan dengan pria itu. Sekilas tampaknya pria
itu seperti sedang depresi berat.
Akhirnya
saya tahu pria itu kesepian dan depresi berat serta butuh teman dalam hidupnya.
Jadilah saya mencoba mengingatkan dia tentang Tuhan. Saya kisahkan tentang Nabi
Yunus yang hidup dalam perut ikan. Sendirian dalam gelap namun masih ada Tuhan
bersamanya.
Selepas
mendengar kisah itu, pria berkursi roda itu mendongakkan kepalanya seraya
meminta maaf. Ia menceritakan bahwa ada sedikit masalah yang melandanya.
Selanjutnya ia ingin mengakuinya kesalahannya itu di hadapan saya. Saya berujar
bahwa saya bukan seorang pendeta. Pria itu justru menjawab; “Sebenarnya saya
dulu seorang pendeta.”
“Apa?
Saya barusan menceramahi seorang pendeta? Saya benar-benar syok kala itu.
Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi dengan dunia ini sebenarnya?
Rupanya
pendeta itu –namanya Peter Jacobs- adalah mantan misionaris yang telah
berkeliling Amerika Latin dan Meksiko selama 12 tahun. Kini ia malah depresi
dan butuh istirahat. Saya menawarkannya untuk tinggal di rumah kami. Dalam
perjalanan ke rumah, saya berdiskusi dengan Peter tentang Islam. Saya sungguh
terkejut kala diberitahu para pendeta Kristen juga belajar tentang Islam dan
bahkan sebagiannya ada yang doktor di bidang itu. Ini hal baru bagi saya
tentunya.
Sejak
itu, Muhammad, Peter dan saya sering terlibat diskusi hingga larut malam. Satu
ketika masuk ke masalah kitab-kitab suci. Saya takjub kala Muhammad
menceritakan bahwa dari pertama diturunkan hingga saat ini atau selama 1400
tahun Al-Quran hanya ada satu versi. Al-Quran dihafal oleh jutaan Muslim di
seluruh dunia dengan satu bahasa yaitu Arab. Sungguh mustahil. Bagaimana
mungkin kitab suci kami bisa berubah-ubah dengan berbagai versi sementara
Al-Quran tetap terpelihara?
Satu
hari pendeta Peter Jacobs ingin melihat apa yang dilakukan orang Islam di
Mesjid. Ia pun ikut Muhammad. Sepulang dari sana saya bertanya pada Peter ada
kegiatan apa di sana. Peter menyebut tidak ada acara apa-apa di mesjid. Mereka
(orang Islam) cuma datang dan shalat saja. Tidak ada acara seremoni apapun.
Apa? tidak ada ceramah atau nyanyian apapun?
Beberapa
hari kemudian Peter minta ikut lagi ke mesjid. Namun kali ini lain. Mereka
tidak pulang-pulang hingga larut malam. Saya khawatir sesuatu terjadi terhadap
mereka. Akhirnya Muhammad kembali dengan seorang pria berjubah. Saya sungguh
terkejut dengan laki-laki yang datang bersama Muhammad itu. Ia mengenakan jubah
dan topi putih. Ah rupanya si Peter. Ada apa dengan kamu tanya saya. Jawaban
Peter bak petir di siang bolong. Ia menyebut sudah bersyahadah. Oh Tuhan! Apa
yang terjadi? Pendeta masuk Islam?
Saya
benar-benar syok dan semalaman tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Saya
ceritakan kejadian tersebut kepada istri. Istri saya justru menyatakan ia juga
ingin masuk Islam, karena itulah yang benar. Oh Tuhan! Saya benar-benar tidak
percaya.
Saya
turun ke bawah dan membangunkan Muhammad seraya minta waktu diskusi dengannya.
Sepanjang malam hingga subuh kami bertukar pendapat. Muhammad minta izin shalat
Subuh. Ketika itu saya mendapat firasat, kebenaran telah datang. Saya harus
membuat pilihan. Lalu saya keluar rumah. Persis di belakang rumah, saya
memungut sepotong papan. Lalu saya letakkan papan itu menghadap ke arah orang
Islam shalat. Saya pun bersujud menghadap kiblat dan meminta petunjuk-Nya.
Pagi
itu, pukul 11, saya bersyahadah di hadapan dua orang saksi, mantan pendeta
Peter Jacobs dan Muhammad Abd. Rahman. Alhamdulillah, di usia ke-47 saya jadi
seorang Muslim. Beberapa menit kemudian istri saya juga ikut bersyahadah. Ayah
baru memeluk Islam beberapa bulan kemudian. Sejak itu saya dan ayah sering ke
mesjid terdekat di kota kami. Ayah mertua saya akhirnya juga mengikuti kami. Di
usianya yang ke-86 ia memeluk Islam. Mertua saya meninggal persis beberapa
bulan selepas bersyahadah. Semoga Allah ampuni dia. Amiin.
Adapun
anak-anak saya pindahkan dari sekolah Kristen ke sekolah Islam. Setelah sepuluh
tahun bersyahadah, mereka telah mampu menghafal beberapa juz Al-Quran.
Sejak itu saya habiskan waktu hanya untuk Islam. Saya berdakwah ke mana-mana,
hingga ke luar Amerika. Banyak sudah yang memeluk Islam. Baik dari kalangan
birokrat, guru, dan pelajar dari berbagai agama. Dari Hindu, Katolik,
Protestan, Yahudi, Rusia Orthodok, hingga Atheis. Saat ini saya juga mengelola
sebuah website yakni Islamalways.com yang punya motto terkenal, " where
we're always open 24 hours a day and always plenty of free parking." (kami
buka 24 jam sehari dan banyak tempat parkir gratis).
Islam
telah mengubah cara saya melihat kehidupan ini dengan lebih bermakna. Semoga
Allah pelihara hidayah yang sudah ada pada kita dan sebarkan hidayah itu ke
seluruh alam. Amin.
0 comments:
Posting Komentar