ISLAM
CHANNEL -- Ia
terperangah dan terpesona dengan Alquran yang dibacanya. Yusha begitu yakin
akan kebenaran yang tercantum dalam kitab suci itu.
Suatu hari di musim
panas 1996. Yusha Evans, seorang misionaris muda kedatangan seorang teman
bernama Benjamin. Ia tak pernah menyangka, kehadiran temannya itu bakal
menggoyahkan imannya. Sebuah pertanyaan tak terduga yang dilontarkan temannya
membuatnya melepaskan keyakinannya sebagai seorang Kristen.
“Apakah kau pernah membaca
seluruh isi Alkitab?’’ tanya Benjamin.
“Apa maksudmu? Saya
seorang misionaris Kristen dan bagaimana mungkin kau bertanya seperti itu
padaku?’’ cetus Yusha.
“Apakah kau pernah
membaca Alkitab seperti membaca sebuah novel: mengetahui tokoh-tokoh yang ada
di dalamnya, mengetahui plot dan tempatnya serta tahu seluruh detail isinya?’’
Yusha mengaku tak
pernah membaca Alkitab dengan cara itu. Lalu Benjamin menantangnya untuk
membaca kembali Alkitab dari awal hingga akhir. Ia memintanya untuk membaca
Alkitab selama beberapa bulan dan tidak menyentuh buku lain, kecuali Alkitab.
Maka mulailah Yusha
membaca Alkitab dari Kejadian 1:1. Ia sangat tertarik dengan kisah para nabi.
Dalam Alkitab, dikisahkan bahwa Nabi Nuh menyampaikan wahyu Allah, tapi tidak
ada satupun umatnya yang mengikuti seruannya. Lalu Allah menghukum umat Nabi
Nuh dengan mendatangkan banjir besar, dan hanya Nabi Nuh serta orang-orang yang
naik ke kapal saja yang selamat.
Setelah banjir,
seperti dikisahkan dalam Alkitab, Nabi Nuh meminum anggur dan keluar dalam
keadaan mabuk. Yusha mengaku sangat heran, mengapa Nuh seorang utusan Tuhan
bisa bersikap seperti itu.
“Tidak mungkin
seorang nabi bersikap seperti itu. Maka saya tahu mengapa umat Nabi Nuh tidak
mendengarkan apa yang ia sampaikan, karena ia mabuk,” kata Yusha kecewa.
Yusha kembali
melanjutkan bacaannya. Semakin dalam membaca, kian banyak ia menemukan
kesenjangan dalam Alkitab. Beberapa kisah nabi yang dibacanya justru tak
mencerminkan nabi itu sebagai utusan Tuhan. Mereka malah seperti pelaku kriminal, yang
justru dicari-cari polisi.
Ia pun amat
penasaran. Yusha lalu bertanya kepada pendeta di gereja tempat melakukan misa.
Ia mempertanyakan banyak hal. Namun Yusha tidak mendapatkan jawaban yang
memuaskan. Para pendeta yang ditemuinya berkata, “Janganlah ilmu pengetahuan
yang sedikit mempengaruhi keyakinannya terhadap Yesus.’’
Yusha diminta agar
tidak perlu mempelajari segala hal. Ia diminta hanya cukup percaya saja pada
apa yang diajarkan. Sejumlah pendeta memintanya agar tidak membaca Perjanjian
Lama. Alasannya, Alkitab tersebut sudah tidak lagi terpakai. Mereka
memintanya untuk membaca Perjanjian Baru.
Di dalam Perjanjian
Baru, Yusha menemukan sebuah ayat yang menyebut bahwa Yesus berkata Tuhan itu
satu. Dan hal tersebut terus diulang-ulang di ayat dan surat berikutnya dengan
cara yang berbeda. Sama seperti ajaran Musa dalam 10 Perintah Allah, hal
pertama yang diperintahkan adalah menyembah Allah dan tidak ada yang lain.
Yusha lalu mencari
tahu mengenai Yesus. Ia menemukan ayat yang menyebutkan bahwa Yesus
memerintahkan hal yang sama: menyembah satu Tuhan. Rasa penasarannya semakin
menggebu. Ia pun mulai mempertanyakan tentang penyaliban Yesus. Dalam ajaran
yang ia terima, Yesus dipaku pada bagian tangannya.
Dalam hatinya muncul
kegamangan. Yusha berpendapat, hal tersebut sangatlah konyol. Seseorang yang
telapak tangannya disalib tidak akan bertahan lama di atas tiang. Ia pun
menyampaikan pendapatnya itu kepada para pendeta. Alih-alih mendapatkan
jawaban, ia justru dilarang untuk melakukan khutbah Kristen di gerejanya.
Saat kondisi imannya
sedang goyah, Benjamin kembali menemui Yusha. “Aku telah membaca Alkitab
berulang kali. Alkitab itu pula dicetak berulang kali, namun selalu masih saja
ada salah penulisan. Padahal, Tuhan itu sempurna. Ciptaannya pun sempurna dan
kitabnya juga haruslah sempurna,’’ ujar Benjamin.
Sejak hari itu,
Yusha melepas Kristen sebagai agama yang diyakininya. Ia memutuskan
meninggalkan agamanya dan memilih untuk mencari agama lain. Ia mempelajari
Buddha dan beberapa agama lain, termasuk Islam. Yusha juga sempat membaca
sebuah buku tentang Islam, tetapi hal itu tidak membuatnya senang. Ia akhirnya
tidak mengikuti satu agama dunia pun.
“Tuhan, jika Engkau
tidak memberi saya petunjuk, maka saya akan mencari jalan sendiri,’’ Yusha memanjatkan
sebuah doa. Saat itu, ia berusia 17 tahun.
Yusha Evans lahir
dan besar di South Carolina, Amerika Serikat. Ia dibesarkan oleh kakek
(Indian Amerika) dan nenek (Irlandia) yang sangat konservatif. Kakek dan
neneknya selalu mengajarkannya berdoa sebelum makan, sebelum tidur, tidak boleh
menyalakan musik keras-keras, tidak membawa perempuan ke rumah.
“Itu yang saya
pelajari di sekolah Minggu,’’ ujar Yusha. Masa kecilnya dihabiskan bersama
nenek dan kakeknya. Menginjak usia 14 tahun, neneknya mengajak Yusha ke sebuah
pelayanan Sabtu yang benar-benar berbeda dengan apa yang dialaminya di sekolah
Minggu.
Di sana mereka bermain bola, voli, basket. Di pelayanan Sabtu, Yusha juga menemukan banyak makanan, kue, dan permen. Di akhir pertemuan, pastor yang memimpin acara itu mulai memberikan pengajaran tentang agama. Ia sangat menyukainya, karena tempat itu seperti sekolah normal.
Ketika berumur 15
tahun, nenek Yusha meminta pastor muda yang biasa melayaninya di gereja
untuk mengantarkan cucu kesayangannya itu ke sekolah. Yusha belum memiliki
Surat Izin Mengemudi (SIM), sehingga belum boleh mengendarai mobil sendirian. Pastor yang usianya tiga
tahun lebih tua dari Yusha itu menjadi teman baiknya.
****
Bersama pastor muda itu, Yusha diajak ke sebuah perkumpulan remaja yang bernama “Kehidupan Remaja”. Perkumpulan ini tidak seperti perkumpulan biasanya. “Kelompok itu seperti yang kau lihat di televisi. Ada orang bernyanyi dan bermain gitar. Khutbah yang dilakukan dalam kelompok itu tidak seperti khutbah yang ada gereja. Dalam menyampaikan khotbahnya, ia (pastor) berteriak-teriak dan menyampaikannya dengan lantang langsung ke orang-orang.’’
Bersama pastor muda itu, Yusha diajak ke sebuah perkumpulan remaja yang bernama “Kehidupan Remaja”. Perkumpulan ini tidak seperti perkumpulan biasanya. “Kelompok itu seperti yang kau lihat di televisi. Ada orang bernyanyi dan bermain gitar. Khutbah yang dilakukan dalam kelompok itu tidak seperti khutbah yang ada gereja. Dalam menyampaikan khotbahnya, ia (pastor) berteriak-teriak dan menyampaikannya dengan lantang langsung ke orang-orang.’’
Hal ini sangat
menarik bagi Yusha. Mereka mengajarkan Kristen dengan cara yang berbeda dari
yang dipelajari saat masih kecil. Menginjak usia 16 tahun, ia sudah tahu
apa yang diinginkannya. Yusha ingin menjadi seorang misionaris. Sebagai seorang
yang perfeksionis, ia ingin mendalami Kristen secara utuh. Ketika ia ingin
sesuatu, maka apa yang ia lakukan harus terselesaikan.
Pada suatu hari,
Yusha pergi ke New York bersama beberapa temannya. Di kota terbesar di dunia
itu, ia kehabisan uang dan memutuskan untuk mengambil uang dari sebuah
mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Ketika mengambil uang, ia dirampok oleh
orang-orang bersenjata.
Kejadian itu
membuatnya sangat takut, sehingga hari itu juga Yusha kembali ke
rumah neneknya. Ia tidak menceritakan peristiwa yang menimpanya kepada sang
nenek. Ia menyimpannya, sampai akhirnya mendapatkan mimpi buruk.
Dalam mimpi itu,
orang yang merampoknya di ATM menembaknya hingga mati. Lalu, ia melihat sesuatu
tengah menantinya disisi lain kehidupan. Ia tidak mengetahuinya.Yusha sangat
ketakutan. Ia terbangun dari mimpinya sambil berteriak.
Sang nenek datang
dan bertanya, “Mengapa kau berteriak? Lalu, Yusha menceritakan segalanya,
tentang perampokan dan mimpi yang dialaminya.
“Tuhan mempunyai
satu rencana untukmu, percayalah,’’ ujar sang nenek.
“Lalu apa yang harus
kulakukan?” tanyanya.
“Kau harus kembali
pada-Nya. Kau harus mencari-Nya.”
Yusha pun linglung.
Ia sudah mencari Tuhan kemana-mana, namun tidak menemukannya. Neneknya berkata,
“Tuhan tidak akan pergi kemana-mana, kau hanya perlu menemukannya.’’ Sang nenek
tidak menyuruhnya untuk kembali ke gereja, hanya memintanya untuk mencari
Tuhan.
Yusha mulai menjadi
agnostik: mempercayai adanya Tuhan, namun tidak menganut agama apapun. Ia
melakukan doa dengan caranya sendiri. Ia merasa jenuh dengan hal tersebut dan
akhirnya memohon pada Tuhan, “Kalau Engkau ingin aku mengenal-Mu, maka
bimbinglah aku.”
Sejak saat itu, ia
tidak mau mendengar lagi apa yang harus dipercayainya. Tusha ingin melihat apa
yang harus dipercayainya. Ia telah membaca banyak buku dan kitab agama lain,
namun tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang dipercayai olehnya.
Sampai pada suatu
hari, Yusha berkunjung ke rumah seorang temannya bernama Musa yang beragama
Islam. Selama bertahun-tahun Yusha mengenalnya, ia sama sekali tidak menyadari
kalau temannya itu adalah seorang Muslim. Dalam pertemuan itu, mereka
membicarakan tentang agama. Dari situlah, Yusha berkenalan dengan Islam yang
sebenarnya.
Karena tidak
mempercayai adanya komunitas Islam di lingkungannya, teman Afro-Amerika yang
Muslim itu mengajak Yusha ke masjid, sebuah tempat yang tepat untuk menanyakan
tentang Islam. Yusha selama ini tidak pernah menyadari bahwa di lingkungannya
terdapat masjid. Apalagi letaknya tidak jauh dari gereja.
Ia lalu berkunjung
ke masjid. Saat sedang menunggu Musa, seorang lelaki mendekatinya dan bertanya,
‘’ Apa yang sedang kau lakukan di sini?’’
“Aku sedang menunggu
Musa.’’
“Musa tidak terlalu
sering datang ke masjid. Namun, jika kau ingin melihat masjid, saya dengan
senang hati akan mengantarkanmu.’’
Awalnya. Yusha
merasa takut. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya untuk masuk ke masjid.
Selama ini, pikirannya tentang Islam sangat buruk, namun pria itu
memperlakukannya dengan sangat baik.
Ia pun masuk ke
dalam masjid tersebut dan mendengarkan khutbah. Awalnya, ia berpikir bahwa
lafal ayat-ayat dalam bahasa Arab yang disampaikan khatib bermaksud untuk membunuhnya.
Namun, ketika khatib tersebut menerjemahkan kalimat-kalimat Arabnya, Yusha
menyadari apa yang dikatakan khatib itu adalah tentang menyembah Tuhan yang
satu.
Usai shalat Jumat,
ia menemui khatib dan bertanya, ‘’Apa yang barusan kalian lakukan tadi?’’
“Tadi kami melaksanakan shalat, menyembah Allah.’’
“Tadi kami melaksanakan shalat, menyembah Allah.’’
Ketika sang khatib
hendak menjelaskan kepada Yusha tentang Islam, ia segera memotongnya, ’’Saya
tidak ingin penjelasan. Saya ingin bukti. Apabila memang agama Anda benar, maka
buktikanlah.’’
Kakeknya pernah
berkata pada Yusha. Ketika orang mengklaim sesuatu itu benar, maka perlu
pembuktian. Karena Yusha meminta bukti pada khatib, ia lalu diajak ke
ruangannya. Khatib itu memberikannya Alquran, kitab suci umat Islam. Lalu Yusha
membawanya pulang dan membacanya.
Ia terperangah dan
terpesona dengan Alquran yang dibacanya. Selama tiga hari, ia tidak dapat
berhenti membacanya. Ia begitu meyakini kebenaran yang tercantum dalam Alquran.
Hidayah ALLAH Swt memancar dalam kalbunya. Yusha pun bertekad untuk menjadi
seorang Muslim.
Yusha kembali ke
masjid dan menemui sang khatib. Lalu ia berkata, ’’Saya ingin menjadi Muslim.”
“Kau harus memahami
satu hal lain apabila ingin menjadi seorang Muslim. Anda harus tahu tentang
Nabi Muhammad SAW.’’
Yusha pun membaca
tentang kisah Nabi Muhammad. Ia pun meyakini Muhammad sebagai utusan Allah.
Pada Desember 1998, Yusha yang bernama asli Joshua akhirnya memeluk
Islam. “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah. Aku juga bersaksi bahwa Muhammad (Rasul) utusan Allah.’’
Sejak itu, ia
mempelajari Islam dari sejumlah ulama di Mesir dan Amerika Serikat. Kini,
Yusha menjadi seorang dai dan penceramah. Umat Islam di negeri Paman Sam
memanggilnya, Syekh Yusha Evans. Ia berkhidmat di jalan ALLAH Swt, dengan
menyebarkan ajaran Islam.
Sumber: islamevents.com / yushaevans.com
0 comments:
Posting Komentar