“Diwajibkan atasmu jihad dan jihad itu
berat bagimu. Bisa jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu lebih baik
bagimu. Bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah Maha
Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah: 216).
ISLAM CHANNEL -- Manusia sering merasa mengerti seutuhnya diri mereka dan mengetahui kebutuhan hidupnya sehingga akal dan perasaan mereka jadi tolak ukur untuk memenuhi kepentingannya itu.
Apa yang dianggap baik oleh akal dan perasaan, itulah yang terbaik. Lalu, apa yang dianggap buruk maka itulah pilihan buruk baginya.
Sesungguhnya, Islam tidak mengajarkan demikian. Standar baik dan buruk itu bukan saja otoritas akal dan perasaan. Positif dan negatif atau baik buruknya sesuatu itu sepenuhnya urusan Allah.
Akal dan perasaan tidak bisa jadi hakim satu-satunya. Sebab, wahyulah yang akan menuntun akal dan perasaan itu menilai baik atau tidaknya suatu perbuatan agar kehidupan tidak merugi.
Misalnya, seperti kasus di atas. Jihad sebagai sebuah kewajiban terhadap agama memang perintah yang sangat berat. Di dalam jihad (perang), ada mobilisasi massa dan pengumpulan dana besar.
Jihad membuat seseorang berpisah dengan keluarga dan daerah asal. Akibat jihad, anggota tubuh mengalami luka, teramputasi, bahkan nyawa melayang.
Namun, di balik seruan itu dan berkat amaliah jihad, negeri terbebas dari kezaliman. Harta dan harga diri manusia terjaga. Belum lagi pahala yang besar di akhirat, bahkan bagi yang wafat digelari syuhada.
Banyak hal dalam perintah agama yang tidak sesuai dengan selera manusia. Ibadah-ibadah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan sudah banyak ditinggalkan manusia.
Jangankan berjihad, shalat atau puasa saja terasa berat bagi sebagian orang. Perkara ibadah sudah dianggap memberatkan. Manusia lebih suka bersantai-santai memuaskan selera hidup dan berlepas diri dari segala aturan yang membelenggu kebebasannya.
ISLAM CHANNEL -- Manusia sering merasa mengerti seutuhnya diri mereka dan mengetahui kebutuhan hidupnya sehingga akal dan perasaan mereka jadi tolak ukur untuk memenuhi kepentingannya itu.
Apa yang dianggap baik oleh akal dan perasaan, itulah yang terbaik. Lalu, apa yang dianggap buruk maka itulah pilihan buruk baginya.
Sesungguhnya, Islam tidak mengajarkan demikian. Standar baik dan buruk itu bukan saja otoritas akal dan perasaan. Positif dan negatif atau baik buruknya sesuatu itu sepenuhnya urusan Allah.
Akal dan perasaan tidak bisa jadi hakim satu-satunya. Sebab, wahyulah yang akan menuntun akal dan perasaan itu menilai baik atau tidaknya suatu perbuatan agar kehidupan tidak merugi.
Misalnya, seperti kasus di atas. Jihad sebagai sebuah kewajiban terhadap agama memang perintah yang sangat berat. Di dalam jihad (perang), ada mobilisasi massa dan pengumpulan dana besar.
Jihad membuat seseorang berpisah dengan keluarga dan daerah asal. Akibat jihad, anggota tubuh mengalami luka, teramputasi, bahkan nyawa melayang.
Namun, di balik seruan itu dan berkat amaliah jihad, negeri terbebas dari kezaliman. Harta dan harga diri manusia terjaga. Belum lagi pahala yang besar di akhirat, bahkan bagi yang wafat digelari syuhada.
Banyak hal dalam perintah agama yang tidak sesuai dengan selera manusia. Ibadah-ibadah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan sudah banyak ditinggalkan manusia.
Jangankan berjihad, shalat atau puasa saja terasa berat bagi sebagian orang. Perkara ibadah sudah dianggap memberatkan. Manusia lebih suka bersantai-santai memuaskan selera hidup dan berlepas diri dari segala aturan yang membelenggu kebebasannya.
Segala sesuatu yang diperintahkan Allah pasti memiliki maslahat besar di dalamnya. Adapun segala sesuatu yang dilarang Allah pasti mengandung mudarat yang berbahaya. Maslahat atau mudarat itu berefek bagi jasmani atau rohani, bahkan bisa pada keduanya sekaligus.
Allah SWT mengatur segala sesuatu ini dengan ilmu-Nya. Ilmu Allah itu tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Namun, Kemengertian dan Kemahatahuan Allah itu di atas segala sesuatu.
Allah SWT itu lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya melebihi pengetahuan hamba itu terhadap dirinya sendiri.
Muadz bin Jabal RA berkata, “Jika seorang Mukmin diuji dengan sakit, dikatakan kepada malaikat sebelah kiri, 'Angkat penamu!' Dikatakan pula kepada malaikat sebelah kanan, 'Tulislah untuk hamba-Ku sebaik amal yang dia kerjakan saat sehatnya.'”
Allah telah mencukupi kita dengan berbagai macam hal dalam hidup ini. Dia memberi melebihi yang kita minta. Dia mencukupi di luar kebutuhan kita. Dia memuluskan langkah-langkah kita.
Dia menutupi kekurangan-kekurangan kita rapat-rapat. Bahkan, Dia mengampuni dosa-dosa kita meskipun dengan amal kita yang sedikit.
Yang Allah minta hanyalah agar kita pandai bersyukur. Syukuri segala keadaan dan gunakan segala fasilitas dari Allah di jalan yang diridhaiNya.
Demikianlah banyak hikmah positif di balik setiap kondisi kita. Kemengertian Allah atas hamba-Nya tidak bisa dimungkiri.
Seorang hamba hanya perlu bersyukur pada keadaannya dan berpikir positif (husnudzan) pada Allah. Kondisi di mana kita berada saat ini menunjukkan itulah yang terbaik bagi kita menurut ilmu Allah.
0 comments:
Posting Komentar