ISLAM CHANNEL -- Alkisah, di masa lalu sebelum era keislaman, hidup dua orang saleh yang sangat wara. Mereka sangat jujur, amanah dan tak mudah terperdaya oleh harta dunia. Keduanya pun kemudian dipertemukan dalam sebuah mumalah.
Suatu
hari, dua pria saleh itu bertransaksi jual beli tanah. Seorang membeli sebidang
lahan dari seorang lain. Kesepakatan terjalin, keduanya pun bertransaksi
kemudian berpisah.
Beberapa
hari berikutnya, pria yang membeli tanah mendatangi si penjual. Bukan untuk
komplain tentang tanah yang ia beli, melainkan ia ingin memberikan seguci emas.
Ada apa gerangan? Bukankah dia sudah membayar tunai tanah sesuai perjanjian
jual beli.
Ternyata
si pembeli telah menemukan seguci emas itu terpendam di bahwa tanah yang ia
beli. Saat menggalinya, emas-emas itu ditemukan. Ia pun bermaksud mengembalikan
emas itu karena dipikirnya, emas itu merupakan harta si pemilik tanah yang lupa
tak diambil ketika menjual tanah.
“Ambillah
emasmu, aku hanyalah membeli tanah darimu, bukan membeli emas,” ujar si pembeli
kepada si pemilik tanah.
Namun
ternyata seguci emas itu bukan milik si penjual. Ia hanyalah pemilik tanah itu,
bukan beserta emas didalamnya. Ia pun baru tahu bahwa di bawah lahannya
terpendam harta yang jumlahnya banyak itu.
Seperti
halnya kejujuran si pembeli menemukan harta terpendam, si pemilik tanah pun
berkata jujur bahwa dia bukan pemilik emas itu. Ia pun menyerahkan kembali emas
itu pada si pembeli.
“Aku
menjual tanah kepadamu beserta isinya,” ujar si pemilik tanah.
Inilah
sikap orang saleh, mereka bukan berebut harta seperti kebanyakan orang.
Keduanya justru saling menyerahkan harta itu karena takut harta itu bukanlah
hak mereka. Kebingunan pun melanda mereka. Akhirnya, keduanya menemui seorang
qadhi (hakim) untuk memutuskan perihal seguci emas itu.
Mendengar
kisah keduanya, qadhi pun kebingungan. Namun ia takjub pada kedua orang saleh
yang sama-sama berakhlak mulia. Qadhi pun seorang yang bijak, ia tidak mungkin
sembrono memutuskan sesuatu. Ia kemudian berfikir keras untuk memecahkan
masalah keduanya seadil-adilnya.
Sang
qadhi pun kemudian menemukan sebuah solusi yang akan menyenangkan kedua pihak.
Ia pun bertanya pada dua pria saleh itu, “Apakah kalian berdua memiliki anak?”
tanyanya.
Seorang berkata, “Saya memiliki seorang anak laki-laki,” ujarnya. Sementara seorang yang lain berkata, “Saya memiliki seorang anak perempuan,” tuturnya. Maka diputuskanlah perkara yang sangat agung.
Qadhi
berkata, “Nikahkanlah anak-anak kalian itu, dan berilah mereka kecukupan dengan
seguci emas ini. Bersedekahlah kalian dengan harta ini,” putus qadhi.
Giranglah keduanya dengan putusan tersebut. Kedua orang saleh itu sangat gembira akan menjadi besan. Maka dilangsungkanlah pernikahan putra-putri dari bapak-bapak yang shalih. Anak-anak mereka pun pasangan yang pas, saleh dan salehah. Pasangan itu membangun rumah tangga dengan harta seguci emas itu. Kedua pria shaleh itu pun gembira.
Kisah tersebut kurang lebih diambil berdasarkan dari kabar Rasulullah melalui haditsnya. Hadis tersebut diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah. Derajat hadits pun shahih, kisah tersebut benar adanya pernah terjadi di masa lampau dengan Rasulullah sebagai pembawa kabar.
Giranglah keduanya dengan putusan tersebut. Kedua orang saleh itu sangat gembira akan menjadi besan. Maka dilangsungkanlah pernikahan putra-putri dari bapak-bapak yang shalih. Anak-anak mereka pun pasangan yang pas, saleh dan salehah. Pasangan itu membangun rumah tangga dengan harta seguci emas itu. Kedua pria shaleh itu pun gembira.
Kisah tersebut kurang lebih diambil berdasarkan dari kabar Rasulullah melalui haditsnya. Hadis tersebut diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah. Derajat hadits pun shahih, kisah tersebut benar adanya pernah terjadi di masa lampau dengan Rasulullah sebagai pembawa kabar.
Dua
pria shalih telah menjadi teladan bagaimana muslimin bersikap wara. Mereka
bersikap sangat hati-hati pada hal yang belum jelas halal dan haramnya. Tak
jelas bagi mereka kehalalan seguci emas itu bagi mereka meski harta itu sangat
menggiurkan. Mereka pun meninggalkan syubhat harta itu.
Dalam
hadis arbain disebutkan, dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, di antara keduanya
terdapat perkara yang samar (syubhat) tidak diketahui oleh kebanyakan manusia.
Barangsiapa yang menghindari syubhat maka ia membersihkan diri dan
kehormatannya. Barangiapa yang terjatuh ke dalam syubhat berarti dia
jatuh ke dalam perkara yang haram…,” hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
Sumber
: Republika.co.id
0 comments:
Posting Komentar