ISLAM CHANNEL -- Saat kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji,
Arifin malah asyik berjudi. Tapi, ucapan seorang temannya yang pemabuk dan
penjudi, hidupnya berubah total. Ia tinggalkan dunia remajanya yang ‘hitam’ dan
dengan caranya ia mencoba memperbaiki hidupnya. Apa saja yang dilakoni Arifin
untuk menebus kesalahannya pada orang tuanya? Dan bagaimana langkahnya dari
seorang ‘penjudi’ menjadi seorang da’i?
Santri Berdasi
Meskipun badung, Arifin
berhasil lulus SD dengan baik. Nilai pendidikan agamanya biasa-biasa saja,
namun nilai pengetahuan umumnya cukup bagus sehingga ia bisa masuk ke SMP
Negeri I Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota Kalimantan Selatan itu.
“Kalau Arifin serius dan bersemangat untuk belajar, Arifin pasti mampu,” ujar
Arifin. “Ketika kelas 6 Arifin mulai memiliki semangat belajar, sehingga nilai
Arifin pun cukup bagus.”
Tapi, bukan berarti Arifin tidak nakal lagi. Ia masih suka bermain dengan anak-anak yang lebih tua darinya, serta bermain judi. Tahun 1982 ayah-ibunya berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan Kabah kedua orang tua Arifin bersimpuh di hadapan Ilahi, memohon agar Arifin diberikan petunjuk dan hidayah oleh-Nya.
Sementara itu, Arifin yang ditinggal di rumah bersama keempat saudaranya, tetap asyik bermain judi. Bekal yang ditinggalkan oleh ayahnya saat berangkat haji sudah ludes untuk membeli kelereng guna taruhan berjudi dadu. Suatu hari, ketika tengah asyik-asyiknya berjudi kelereng, Denny, salah seorang temannya bermain judi, tiba-tiba nyeletuk, “Fin, ayah lu naik haji, lu malah main judi!”
Tapi, bukan berarti Arifin tidak nakal lagi. Ia masih suka bermain dengan anak-anak yang lebih tua darinya, serta bermain judi. Tahun 1982 ayah-ibunya berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan Kabah kedua orang tua Arifin bersimpuh di hadapan Ilahi, memohon agar Arifin diberikan petunjuk dan hidayah oleh-Nya.
Sementara itu, Arifin yang ditinggal di rumah bersama keempat saudaranya, tetap asyik bermain judi. Bekal yang ditinggalkan oleh ayahnya saat berangkat haji sudah ludes untuk membeli kelereng guna taruhan berjudi dadu. Suatu hari, ketika tengah asyik-asyiknya berjudi kelereng, Denny, salah seorang temannya bermain judi, tiba-tiba nyeletuk, “Fin, ayah lu naik haji, lu malah main judi!”
Arifin terenyak dan
pikirannya mendadak menjadi tidak tenang. Saat itu juga ia langsung pamit
pulang. Celetukan itu ternyata masuk ke nalar Arifin. Meski Denny seorang
pemabuk dan penjudi, entah kenapa, ucapannya kali ini seakan langsung menohok
kalbu Arifin. Sepanjang perjalanan, ia teringat pada kedua orang tuanya yang
tengah menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba ia dihantui perasaan bersalah yang
luar biasa kepada kedua orang tuanya.
Bayang-bayang kenakalannya
selama ini mendadak muncul di hadapannya, membuat batinnya makin tersiksa.
Semalaman ia tidak bisa tidur pulas. Setiap kali terbangun, bayangan kedua
orang tuanya muncul, hingga membuatnya sangat khawatir. Tiba-tiba saja batinnya
tercabik-cabik, hingga membuatnya menangis sendirian di kamar. “Hidayah tidak
selalu datang dari seorang kiai atau ulama, tapi bisa juga dari mereka yang
berlumur dosa,” tandasnya.
Arifin yakin, terbukanya
mata hatinya tentu bukan semata-mata karena ucapan Denny yang menohok hatinya.
Arifin mengatakan, “Selain Arifin mendapatkan hikmah dari ucapan Denny, do’a
Abah dan Mamah di Mekah ternyata dikabulkan oleh Allah. Selain untuk menunaikan
ibadah haji, Arifin yakin Abah pasti memohon pada Allah agar anaknya yang nakal
ini bisa mendapat petunjuk dan hidayah-Nya.
Saat itu juga nur Ilahi itu
tiba-tiba datang menyinari seluruh kalbu Arifin. Sejak itu, Arifin berjanji
pada diri sendiri untuk tidak berjudi dan melakukan tindakan yang tercela.
Kalau selama ini Arifin hanya shalat maghrib dan itu pun tidak rutin, sejak itu
Arifin bertekad untuk shalat lima waktu.”
Saat kedua orang tuanya
pulang dari Tanah Suci, mereka sangat terkejut melihat perubahan sikap Arifin.
“Kok, Arifin ini berubah sekali sifat dan kebiasaannya?” tanya ayahnya dalam
hati. Belakangan, Arifin yang saat itu baru kelas 1 SMPN bahkan minta
dimasukkan ke pesantren.
Menjelang saat penerimaan
rapor semester akhir kelas 1 SMP, Arifin diajak oleh kedua orang tuanya
berkunjung ke Pesantren Al-Fallah di kilometer 24, Banjarmasin. Tapi, Arifin
menolak untuk dimasukkan ke pesantren itu. “Saya ingin masuk pesantren, tapi
tidak mau pakai sarung. Saya ingin masuk pesantren yang bercelana panjang dan
berdasi,” kenangnya sembari tertawa.
Sepengetahuan ayahnya,
pesantren yang diharapkan Arifin itu tidak ada di Banjarmasin atau bahkan di
Kalimantan. Pesantren Darussalam di Banjarmasin yang dipimpin oleh kakek Arifin
pun, keadaannya sama. Pesantren yang dimaksud oleh Arifin itu adalah pesantren
modern yang hanya ada di Pulau Jawa.
Arifin ternyata tidak
keberatan untuk nyantri di Pulau Jawa. Begitu menerima rapor kenaikan, ke kelas
2 SMP, Arifin bersama adiknya, Siti Hajar, diantar oleh sang ibu ke Jakarta
tahun 1983. Kedua kakak-beradik itu kemudian dimasukkan ke Pesantren Darunnajah
di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Meski masuk pesantren atas
kemauannya sendiri, pada awalnya Arifin merasa sangat tidak betah tinggal di
pesantren yang jaraknya sangat jauh dari kedua orang tuanya itu. Padahal, di
pesantren itu ia juga ditemani oleh adiknya. “Kalau di rumah kami ingin makan
lauk yang enak, tinggal ngomong sama Mamah. Di pesantren, makanan serba
terbatas dan rasanya masih kurang pas di lidah kami,” kata Arifin. “Setiap
minggu kami hanya sekali bisa makan daging serta ikan, selebihnya setiap hari
kami hanya makan tahu tempe.”
Rekan dekat Arifin di
Pesantren Darunnajah, Drs. H. Royhan Sabuki, memaklumi keluhan Arifin. Tapi, ia
menyadari kenapa fasilitas pesantren demikian memprihatinkan. Saat ia masuk
tahun 1983, uang masuknya masih sangat murah. Saat itu jumlah santrinya baru
sekitar 300 orang, dan setiap anak ditarik uang masuk Rp50.000, serta uang
makan setiap bulan Rp22.000. “Padahal, untuk sekali makan di warteg (warung
Tegal) saja, waktu itu sudah seribu rupiah. Jadi, wajar kalau dengan biaya
sebesar itu menu pokok kami setiap hari tidak lepas dari tahu tempe,”
kenangnya.
“Di sinilah seninya tinggal
di pondok pesantren. Mereka harus ulet dan disiplin,” kata Ustad Drs. K.H.
Machrus Amin, pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta. “Di
pesantren tentu saja berbeda dengan di rumah, baik untuk mandi atau makan. Agar
bisa mandi pagi-pagi, mereka harus disiplin bangun pagi-pagi pukul empat. Begitu
juga dengan makan. Makan di pesantren itu rumusnya berkah.
Sekarang, dengan uang makan
Rp135.000 sebulan bagi setiap santri, yang berarti sekali makan hanya Rp1.500,
tentu saja tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Tapi, masih bisa makan dengan
lauk ayam, ikan, maupun daging, tentu sudah lumayan. Dengan anggaran itu, semua
guru dan karyawan sudah bisa ikut makan. Di sinilah letak keberkahan pesantren
itu!”
Salah satu sifat yang
sangat berkesan pada diri Arifin dari kacamata Royhan adalah kedermawanannya.
Saat di tingkat aliyah (SMU), pertemanan mereka makin dekat. Setiap kali keluar
pesantren, Arifin sering kali mengajak Royhan. “Ustad Arifin orangnya sangat
sosial. Setiap kali keluar pesantren, dia pasti mengajak saya makan dan
makannya selalu di restoran yang enak-enak,” tutur Sarjana Fakultas Syariah
Darunnajah yang kini mengasuh Pesantren Darunnisak di Legoso, Ciputat, itu.
Tidak hanya pada dirinya
Arifin bersikap dermawan. Suatu hari, Arifin membeli baju dari bahan kaus di
Pasar Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sesampainya di pesantren, salah
seorang teman menegurnya, “Wah, habis beli baju baru, Fin?”
“Ya, lu mau?” jawab Arifin
spontan.
“Nggak... nggak, ah,” jawab
teman itu malu-malu.
“Ambil, deh, untuk lu!”
kata Arifin enteng sembari melempar baju yang baru saja dibelinya itu.
Gila Pidato
Di samping masalah makan
dan fasilitas tempat tinggal, ada masalah lain yang membuat Arifin tidak betah
di pesantren. Selain kurang serius dalam belajar, ia merasa sangat berat
mengikuti materi pelajaran agama di pesantren itu. Seharusnya, untuk masuk di
tingkat tsanawiyah (tingkat SMP dengan pendidikan agama) harus berijazah
ibtidaiyah (tingkat SD dengan tambahan pendidikan agama). Arifin sendiri
berasal dari SD umum dan pengetahuan agamanya pun sangat tipis. Ia belum lancar
membaca dan menulis Arab. Padahal, itu merupakan materi utama pelajaran di
tingkat tsanawiyah.
“Karena sangat jauh
tertinggal, maka semangat belajar Arifin pun jadi sangat kurang,” Arifin
beralasan. “Selain itu, di pesantren tersebut nilainya jujur sekali. Kalau
nilainya 2 atau 3, nilai di rapor pun akan seperti itu. Nilai rapor Arifin pun
seperti lautan merah. Dari 40 mata pelajaran di rapor, lebih dari 30 mata
pelajaran merah semua. Buruk sekali!”
Saat itu Arifin sangat
terpukul dan sedih. Tapi, ia tak ingin menyerah. Bagaimanapun, masuk ke
pesantren itu adalah kemauannya sendiri. Ia tidak ingin mengecewakan kedua
orang tuanya. Memasuki semester dua, ia berusaha memacu diri. Kalau orang lain
bisa, ia pun harus bisa, begitu tekadnya. Usahanya tidak sia-sia, ia berhasil
naik ke kelas II. Di kelas ini ia memacu diri lebih keras lagi. Hasilnya,
sangat fantastis. Ia berhasil naik kelas dengan nilai yang cukup bagus,
sehingga nilainya di atas rata-rata. Belakangan, ia bahkan masuk ranking sepuluh
besar di kelasnya.
Tahun berikutnya, Arifin
tidak hanya bernilai bagus, namun juga menjadi bintang di bidang olahraga dan
kesenian. Selain lari dan badminton, ia berhasil menjadi juara membaca puisi.
Hanya, dalam bidang pidato, Arifin masih belum pede (percaya diri). Setiap kali
ada acara latihan berpidato, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Sebenarnya, ia ingin sekali bisa tampil berpidato. Tetapi, ia selalu diselimuti
ketegangan dan ketakutan yang luar biasa setiap kali akan melangkahkan kakinya
ke podium.
Tapi, bukan Muhammad Arifin
kalau ia langsung menyerah. Pikirannya tiba-tiba menerawang jauh ke belakang,
ketika ia masih tinggal bersama kedua orang tuanya di Banjarmasin. Setiap sore
menjelang maghrib, ia dan saudara-saudaranya selalu diajak kedua orang tua
mereka ke Masjid Sabilal-Muqtadin, sekitar 200 meter dari rumahnya. Mereka
berada di masjid hingga shalat isya, sambil mendengarkan pengajian yang
disampaikan oleh K.H. Rafi Hamdan, seorang ustad kenamaan di kota Banjarmasin.
“Arifin sangat terkesan dengan cara-cara beliau memberikan pengajian. Sayang,
kini beliau sudah tiada,” tutur Arifin.
Arifin sangat mengidolakan
ustad itu. “Enak juga jadi seorang da’i seperti beliau, bisa memberikan
pencerahan pada banyak orang,” pikirnya. “Tapi, bagaimana mungkin berceramah
panjang lebar seperti itu, kalau mau naik ke mimbar saja Arifin sudah
gemetaran?”
Arifin terus merenung dan
berpikir bagaimana caranya bisa berpidato dengan baik. Setiap kali acara
latihan berpidato itu diselenggarakan di pesantren, ia selalu berusaha datang.
Begitu juga ketika di pesantrennya diselenggarakan lomba pidato, ia selalu
mengamati satu demi satu rekan-rekannya yang tampil.
Ketika akhirnya salah
seorang di antara mereka dinyatakan tampil sebagai juara, pengamatannya pun
dialihkan kepada rekannya itu. Arifin mengamati kehidupan sehari-hari rekannya
itu, sejak mulai bangun tidur, shalat, makan, dan sebagainya. “Ternyata anaknya
biasa-biasa saja. Kalau dia bisa, kenapa Arifin tidak?” kata Arifin
mengungkapkan perasaannya saat itu.
Sejak itulah, Arifin
seperti ‘kesetanan’ pidato. Di saat semua teman di kamarnya tertidur lelap, ia
justru bangun. Ia lalu berdiri di atas tempat tidurnya, dan beraksi seperti
layaknya orang-orang berpidato di atas mimbar, ”Para hadirin yang sedang
nyenyak tidur, para bantal, para kasur, dan para sarung yang kumal-kumal yang
kami hormati. Pertama-tama marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang….”
MR Englishman
Cara ‘gila’ belajar dan
berlatih pidato itu ternyata tidak percuma. Ia tidak lagi mandi keringat dingin
dan gemetaran setiap kali harus naik mimbar di hadapan teman-teman santrinya
untuk berlatih pidato. Ia pun mulai mampu mengatur kata demi kata yang harus ia
sampaikan dalam setiap latihan pidatonya. Kepercayaan dirinya terus bertambah,
sehingga ia pun mulai berani tampil berceramah di luar pesantren. Setiap kali
ia pulang liburan ke rumah orang tuanya di Banjarmasin, ia mulai memberanikan
diri berceramah di Dakwatul-Chair, surau yang lokasinya tidak jauh dari
rumahnya.
Meski di pesantren sudah sering berpidato, Arifin mengaku sangat tegang saat
pertama kali diminta oleh pengurus surau itu untuk berceramah. “Semalaman
Arifin tidak bisa tidur dan keringat dingin keluar dari sekujur tubuh,”
kenangnya. “Arifin kemudian bangkit dari tempat tidur dan berusaha membaca buku
untuk mempersiapkan bahan ceramah. Siapa tahu, sambil membaca, mata jadi lelah
dan bisa tidur. Ee… mata Arifin tetap saja melek dan buku yang Arifin baca pun
tidak masuk ke otak. Berhadapan dengan massa ternyata lebih menakutkan!”
Tapi, hanya sekali itu saja
Arifin nervous, sehingga ceramahnya pun dirasakan tidak keruan dan banyak
kalimat yang salah-salah. Sampai di rumah, Arifin pun kemudian berpikir
panjang. “Arifin ternyata dibutuhkan umat. Arifin ditunggu oleh umat. Jadi,
Arifin harus lebih serius dan bersungguh-sungguh lagi!”
Hari-hari selanjutnya
ketegangan itu makin berkurang dan ia pun tampil dengan penuh percaya diri.
Rupanya, banyak jemaah yang menyukai gaya ceramahnya, sehingga belakangan ia
diminta tampil di tempat-tempat lain. Akhirnya, setiap kali pulang ke
Banjarmasin, Arifin jadi sangat sibuk. Di usianya yang masih sangat remaja, ia
sudah menjadi penceramah agama dari masjid ke masjid. “Belakangan, Arifin
bahkan diminta untuk berkhotbah Jumat di Masjid Al-Jihad, masjid orang-orang
Muhammadiyah yang cukup dikenal di Banjarmasin,” kata sang ayah.
Menanggapi tentang
kepiawaian Arifin berpidato, Royhan bercerita, “Sejak dulu, cara bicaranya
sangat terlatih, sehingga setiap kali dia tampil selalu mendapat sambutan
hangat dari teman-teman. Akhirnya ia pun berhasil menjadi juara di berbagai
lomba pidato. Selain di Pesantren Darunnajah, ia berhasil menjadi juara pidato
tingkat nasional dan tingkat Asean.”
Kesimpulan Arifin, “Sebesar
kesadaranmu, sebesar itu pula keuntunganmu. Sebesar keinsafanmu, sebanyak itu
pula keuntunganmu!” Royhan pun sangat kagum pada semangat dan kesungguhan
Arifin. Memasuki tahun kedua, setiap santri di Darunnajah diharuskan
berkomunikasi dengan bahasa Arab atau Inggris. Kalau ada santri yang berbicara
sehari-hari tidak menggunakan kedua bahasa asing itu, maka mereka akan dihukum.
Hukumannya bisa bermacam-macam, tergantung berapa kali santri itu ketahuan tidak
berbahasa asing. Hukuman bisa berupa menghafal atau menulis kata atau kalimat
bahasa Arab/Inggris, bisa disuruh membersihkan kamar mandi, dan sebagainya.
Setiap anak diwajibkan
menjadi mata-mata bagi anak lain, sehingga siapa pun yang berbicara dengan
tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris, pasti akan mendapatkan hukuman.
Akhirnya, hampir semua santri pernah menjalani hukuman itu. Kalau teman-teman
lain lebih suka berbicara dengan bahasa Arab, Arifin lebih suka berbahasa
Inggris. Arifin sering kali mengatakan, “I don’t care. I don’t care with the
other person!” ujar Arifin seperti ditirukan oleh Royhan.
“Teman-teman menyebut Ustad
Arifin sebagai Mr Englishman!” Royhan bercerita sembari tertawa. Di kalangan
teman-temannya, Arifin dikenal lebih piawai berbahasa Inggris daripada
berbahasa Arab.
Jagoan Berkelahi
Perjalanan menuju sukses
ternyata memang tidak mudah. Di mana pun, ada saja orang yang iri dan dengki
melihat orang lain sukses. Demikian juga yang dirasakan Arifin. Selain merasa
sulit bergaul, ia sering kali merasa diperlakukan tidak adil oleh pengasuh
pesantren maupun para guru. Maklum, yang masuk di pesantren itu memang
santri-santri dari berbagai suku di tanah air, sehingga budaya dan tingkah laku
mereka pun bermacam-macam. “Sejak kecil Arifin paling tidak bisa melihat
ketidakadilan. Karena itu, Arifin pun terpaksa berkelahi karena melihat
ketidakadilan itu,” kata Arifin.
Suatu hari, Arifin melihat
ada seorang santri yunior bernama Muhammad Ali disakiti oleh santri senior.
Arifin pun marah dan tidak mau menerima keadaan itu sambil menantang sang
senior itu berkelahi. “Eh, lu jangan cuma berani lawan anak kecil. Lawan gua
kalau i memang jagoan!”
Dalam kesempatan lain,
Arifin naik pitam lagi ketika ia berhasil memergoki santri yang mencuri lauk-pauk
kiriman ibunya dari Banjarmasin. Hampir setiap bulan ia memang mendapat kiriman
kecap, abon, dan ikan khas Banjarmasin. Sebagian ia bagikan kepada
teman-temannya, dan sebagian lagi ia simpan agar bisa untuk makan sebulan.
Tapi, belum lagi genap tiga hari, semua lauk itu sudah raib. Bulan berikutnya,
Arifin sengaja memasang jebakan, sampai akhirnya berhasil menangkap
‘pencuri’nya. Arifin pun langsung menghajar anak itu. Sambil melempar abon dan
kecap ke wajah temannya itu, Arifin membentaknya, “Makan, tuh, abon sama kecap
ini!”
Selain dikenal sebagai
juara lomba pidato, di Pesantren Darunnajah Arifin akhirnya juga dikenal
sebagai santri yang suka berkelahi. Padahal, setiap kali usai berkelahi, Arifin
selalu mendapat hukuman, yaitu digunduli kepalanya. Suatu hari, ketika Arifin
dan santri-santri lain tengah antre makan, mendadak salah seorang santri
langsung nyerobot antrean. Melihat ketidakadilan seperti itu, Arifin tentu saja
sangat marah. Saat itu hanya Arifin yang berani menegur santri nakal itu, karena
dia punya banyak teman. “Meskipun di pesantren, rupanya mereka main geng-gengan
juga,” kenang Arifin. “Tapi, Arifin tidak takut, walaupun akhirnya Arifin
dikeroyok oleh mereka. Perkelahian tentu saja sangat tidak seimbang, sehingga
bibir Arifin pun robek dan berdarah-darah!”
Sebagai hukuman, Arifin pun
harus digunduli. Tapi, ia berontak karena merasa diperlakukan tidak adil.
Santri yang mengeroyok dan memukulinya ternyata malah tidak dihukum sama
sekali. “Apanya lagi yang mau dibotaki, Kiai, sementara kepala saya sudah
botak?” gumam Arifin.
Diundang Ceramah
Merasa diperlakukan tidak
adil, Arifin mulai merasa tidak nyaman sekolah di pesantren itu. Ia pun
memutuskan keluar sekolah, meski baru duduk di kelas dua aliyah (tingkat SMU).
Setelah mengundurkan diri dari pesantren itu, Arifin pun masuk ke Pesantren
Assyafi’iyah di daerah Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan. “Saya merasakan
banyak ketidakadilan yang terjadi di Darunnajah, sehingga tidak nyaman lagi
untuk meneruskan sekolah di sini,” tuturnya pendek.
Seperti di Darunnajah,
tahun 1987 itu Arifin langsung masuk ke kelas 2 aliyah Assyafi’iyah. Di tempat
ini ia tidak mondok di pesantren sehingga bisa lebih bebas mengekspresikan
kemampuannya berpidato. Awalnya, ia hanya diminta menggantikan Ustad Ahmad yang
berhalangan hadir karena beliau harus berangkat ke luar negeri. Ia dijemput
dengan mengendarai motor Vespa dan pulangnya dibelikan nasi goreng.
Undangan ceramah kedua
datang untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tapi, porsinya juga hanya
sebagai pengisi waktu karena Ustad Manarul Hidayat —ustad kenamaan saat itu—
yang seharusnya mengisi acara tersebut, datang agak terlambat. Namun, dua kali
pemunculan tanpa sengaja justru membawa hikmah. Ia mulai dikenal banyak orang.
Dan sejak itulah undangan berceramah di lingkungan pesantren itu mulai
berdatangan.
Lebih setahun kemudian ia
berhasil lulus aliyah dan berhasil mendapat ranking ketiga. Menurut rencana, ia
akan melanjutkan kuliah ke sebuah universitas di Mekah, tapi beberapa guru
menasihatinya agar kuliah di perguruan tinggi umum di Indonesia saja. Arifin
akhirnya mendaftarkan diri di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu
Politik Universitas Nasional di Jakarta. Sambil kuliah, Arifin terus berceramah
di masjid, surau, atau majelis taklim. Kian lama langkahnya kian jauh. Dari
seputar Bali Matraman, merambah ke seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang,
dan Bekasi.
Tahun 1994 Arifin lulus
dari Universitas Nasional sebagai sarjana ilmu hubungan internasional. Sambil
menjadi dosen di Universitas Borobudur, Arifin makin memantapkan diri sebagai
da’i. Arifin mengemukakan, “Arifin ingin membuktikan kepada semua orang bahwa
kalau kita bersunggung-sungguh, maka kita akan berprestasi. Di mana pun, kita
akan bisa berprestasi!”.
Bersambung ke :
Bersambung ke :
0 comments:
Posting Komentar