Kamis, 17 Oktober 2013

Biografi K.H Ustad Muhammad Arifin Ilham - Bagian II

biografi kh ustad muhammad arifin ilham 2

ISLAM CHANNEL -- Saat kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji, Arifin malah asyik berjudi. Tapi, ucapan seorang temannya yang pemabuk dan penjudi, hidupnya berubah total. Ia tinggalkan dunia remajanya yang ‘hitam’ dan dengan caranya ia mencoba memperbaiki hidupnya. Apa saja yang dilakoni Arifin untuk menebus kesalahannya pada orang tuanya? Dan bagaimana langkahnya dari seorang ‘penjudi’ menjadi seorang da’i?

Santri Berdasi
Meskipun badung, Arifin berhasil lulus SD dengan baik. Nilai pendidikan agamanya biasa-biasa saja, namun nilai pengetahuan umumnya cukup bagus sehingga ia bisa masuk ke SMP Negeri I Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota Kalimantan Selatan itu. “Kalau Arifin serius dan bersemangat untuk belajar, Arifin pasti mampu,” ujar Arifin. “Ketika kelas 6 Arifin mulai memiliki semangat belajar, sehingga nilai Arifin pun cukup bagus.”

Tapi, bukan berarti Arifin tidak nakal lagi. Ia masih suka bermain dengan anak-anak yang lebih tua darinya, serta bermain judi. Tahun 1982 ayah-ibunya berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan Kabah kedua orang tua Arifin bersimpuh di hadapan Ilahi, memohon agar Arifin diberikan petunjuk dan hidayah oleh-Nya.

Sementara itu, Arifin yang ditinggal di rumah bersama keempat saudaranya, tetap asyik bermain judi. Bekal yang ditinggalkan oleh ayahnya saat berangkat haji sudah ludes untuk membeli kelereng guna taruhan berjudi dadu. Suatu hari, ketika tengah asyik-asyiknya berjudi kelereng, Denny, salah seorang temannya bermain judi, tiba-tiba nyeletuk, “Fin, ayah lu naik haji, lu malah main judi!”

Arifin terenyak dan pikirannya mendadak menjadi tidak tenang. Saat itu juga ia langsung pamit pulang. Celetukan itu ternyata masuk ke nalar Arifin. Meski Denny seorang pemabuk dan penjudi, entah kenapa, ucapannya kali ini seakan langsung menohok kalbu Arifin. Sepanjang perjalanan, ia teringat pada kedua orang tuanya yang tengah menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba ia dihantui perasaan bersalah yang luar biasa kepada kedua orang tuanya.

Bayang-bayang kenakalannya selama ini mendadak muncul di hadapannya, membuat batinnya makin tersiksa. Semalaman ia tidak bisa tidur pulas. Setiap kali terbangun, bayangan kedua orang tuanya muncul, hingga membuatnya sangat khawatir. Tiba-tiba saja batinnya tercabik-cabik, hingga membuatnya menangis sendirian di kamar. “Hidayah tidak selalu datang dari seorang kiai atau ulama, tapi bisa juga dari mereka yang berlumur dosa,” tandasnya.

Arifin yakin, terbukanya mata hatinya tentu bukan semata-mata karena ucapan Denny yang menohok hatinya. Arifin mengatakan, “Selain Arifin mendapatkan hikmah dari ucapan Denny, do’a Abah dan Mamah di Mekah ternyata dikabulkan oleh Allah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, Arifin yakin Abah pasti memohon pada Allah agar anaknya yang nakal ini bisa mendapat petunjuk dan hidayah-Nya.

Saat itu juga nur Ilahi itu tiba-tiba datang menyinari seluruh kalbu Arifin. Sejak itu, Arifin berjanji pada diri sendiri untuk tidak berjudi dan melakukan tindakan yang tercela. Kalau selama ini Arifin hanya shalat maghrib dan itu pun tidak rutin, sejak itu Arifin bertekad untuk shalat lima waktu.”

Saat kedua orang tuanya pulang dari Tanah Suci, mereka sangat terkejut melihat perubahan sikap Arifin. “Kok, Arifin ini berubah sekali sifat dan kebiasaannya?” tanya ayahnya dalam hati. Belakangan, Arifin yang saat itu baru kelas 1 SMPN bahkan minta dimasukkan ke pesantren.

Menjelang saat penerimaan rapor semester akhir kelas 1 SMP, Arifin diajak oleh kedua orang tuanya berkunjung ke Pesantren Al-Fallah di kilometer 24, Banjarmasin. Tapi, Arifin menolak untuk dimasukkan ke pesantren itu. “Saya ingin masuk pesantren, tapi tidak mau pakai sarung. Saya ingin masuk pesantren yang bercelana panjang dan berdasi,” kenangnya sembari tertawa.

Sepengetahuan ayahnya, pesantren yang diharapkan Arifin itu tidak ada di Banjarmasin atau bahkan di Kalimantan. Pesantren Darussalam di Banjarmasin yang dipimpin oleh kakek Arifin pun, keadaannya sama. Pesantren yang dimaksud oleh Arifin itu adalah pesantren modern yang hanya ada di Pulau Jawa.

Arifin ternyata tidak keberatan untuk nyantri di Pulau Jawa. Begitu menerima rapor kenaikan, ke kelas 2 SMP, Arifin bersama adiknya, Siti Hajar, diantar oleh sang ibu ke Jakarta tahun 1983. Kedua kakak-beradik itu kemudian dimasukkan ke Pesantren Darunnajah di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Meski masuk pesantren atas kemauannya sendiri, pada awalnya Arifin merasa sangat tidak betah tinggal di pesantren yang jaraknya sangat jauh dari kedua orang tuanya itu. Padahal, di pesantren itu ia juga ditemani oleh adiknya. “Kalau di rumah kami ingin makan lauk yang enak, tinggal ngomong sama Mamah. Di pesantren, makanan serba terbatas dan rasanya masih kurang pas di lidah kami,” kata Arifin. “Setiap minggu kami hanya sekali bisa makan daging serta ikan, selebihnya setiap hari kami hanya makan tahu tempe.” 

Rekan dekat Arifin di Pesantren Darunnajah, Drs. H. Royhan Sabuki, memaklumi keluhan Arifin. Tapi, ia menyadari kenapa fasilitas pesantren demikian memprihatinkan. Saat ia masuk tahun 1983, uang masuknya masih sangat murah. Saat itu jumlah santrinya baru sekitar 300 orang, dan setiap anak ditarik uang masuk Rp50.000, serta uang makan setiap bulan Rp22.000. “Padahal, untuk sekali makan di warteg (warung Tegal) saja, waktu itu sudah seribu rupiah. Jadi, wajar kalau dengan biaya sebesar itu menu pokok kami setiap hari tidak lepas dari tahu tempe,” kenangnya. 

“Di sinilah seninya tinggal di pondok pesantren. Mereka harus ulet dan disiplin,” kata Ustad Drs. K.H. Machrus Amin, pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta. “Di pesantren tentu saja berbeda dengan di rumah, baik untuk mandi atau makan. Agar bisa mandi pagi-pagi, mereka harus disiplin bangun pagi-pagi pukul empat. Begitu juga dengan makan. Makan di pesantren itu rumusnya berkah.

Sekarang, dengan uang makan Rp135.000 sebulan bagi setiap santri, yang berarti sekali makan hanya Rp1.500, tentu saja tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Tapi, masih bisa makan dengan lauk ayam, ikan, maupun daging, tentu sudah lumayan. Dengan anggaran itu, semua guru dan karyawan sudah bisa ikut makan. Di sinilah letak keberkahan pesantren itu!” 

Salah satu sifat yang sangat berkesan pada diri Arifin dari kacamata Royhan adalah kedermawanannya. Saat di tingkat aliyah (SMU), pertemanan mereka makin dekat. Setiap kali keluar pesantren, Arifin sering kali mengajak Royhan. “Ustad Arifin orangnya sangat sosial. Setiap kali keluar pesantren, dia pasti mengajak saya makan dan makannya selalu di restoran yang enak-enak,” tutur Sarjana Fakultas Syariah Darunnajah yang kini mengasuh Pesantren Darunnisak di Legoso, Ciputat, itu.

Tidak hanya pada dirinya Arifin bersikap dermawan. Suatu hari, Arifin membeli baju dari bahan kaus di Pasar Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sesampainya di pesantren, salah seorang teman menegurnya, “Wah, habis beli baju baru, Fin?” 

“Ya, lu mau?” jawab Arifin spontan.

“Nggak... nggak, ah,” jawab teman itu malu-malu.

“Ambil, deh, untuk lu!” kata Arifin enteng sembari melempar baju yang baru saja dibelinya itu.

Gila Pidato
Di samping masalah makan dan fasilitas tempat tinggal, ada masalah lain yang membuat Arifin tidak betah di pesantren. Selain kurang serius dalam belajar, ia merasa sangat berat mengikuti materi pelajaran agama di pesantren itu. Seharusnya, untuk masuk di tingkat tsanawiyah (tingkat SMP dengan pendidikan agama) harus berijazah ibtidaiyah (tingkat SD dengan tambahan pendidikan agama). Arifin sendiri berasal dari SD umum dan pengetahuan agamanya pun sangat tipis. Ia belum lancar membaca dan menulis Arab. Padahal, itu merupakan materi utama pelajaran di tingkat tsanawiyah.

“Karena sangat jauh tertinggal, maka semangat belajar Arifin pun jadi sangat kurang,” Arifin beralasan. “Selain itu, di pesantren tersebut nilainya jujur sekali. Kalau nilainya 2 atau 3, nilai di rapor pun akan seperti itu. Nilai rapor Arifin pun seperti lautan merah. Dari 40 mata pelajaran di rapor, lebih dari 30 mata pelajaran merah semua. Buruk sekali!”

Saat itu Arifin sangat terpukul dan sedih. Tapi, ia tak ingin menyerah. Bagaimanapun, masuk ke pesantren itu adalah kemauannya sendiri. Ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Memasuki semester dua, ia berusaha memacu diri. Kalau orang lain bisa, ia pun harus bisa, begitu tekadnya. Usahanya tidak sia-sia, ia berhasil naik ke kelas II. Di kelas ini ia memacu diri lebih keras lagi. Hasilnya, sangat fantastis. Ia berhasil naik kelas dengan nilai yang cukup bagus, sehingga nilainya di atas rata-rata. Belakangan, ia bahkan masuk ranking sepuluh besar di kelasnya.

Tahun berikutnya, Arifin tidak hanya bernilai bagus, namun juga menjadi bintang di bidang olahraga dan kesenian. Selain lari dan badminton, ia berhasil menjadi juara membaca puisi. Hanya, dalam bidang pidato, Arifin masih belum pede (percaya diri). Setiap kali ada acara latihan berpidato, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Sebenarnya, ia ingin sekali bisa tampil berpidato. Tetapi, ia selalu diselimuti ketegangan dan ketakutan yang luar biasa setiap kali akan melangkahkan kakinya ke podium.

Tapi, bukan Muhammad Arifin kalau ia langsung menyerah. Pikirannya tiba-tiba menerawang jauh ke belakang, ketika ia masih tinggal bersama kedua orang tuanya di Banjarmasin. Setiap sore menjelang maghrib, ia dan saudara-saudaranya selalu diajak kedua orang tua mereka ke Masjid Sabilal-Muqtadin, sekitar 200 meter dari rumahnya. Mereka berada di masjid hingga shalat isya, sambil mendengarkan pengajian yang disampaikan oleh K.H. Rafi Hamdan, seorang ustad kenamaan di kota Banjarmasin. “Arifin sangat terkesan dengan cara-cara beliau memberikan pengajian. Sayang, kini beliau sudah tiada,” tutur Arifin. 

Arifin sangat mengidolakan ustad itu. “Enak juga jadi seorang da’i seperti beliau, bisa memberikan pencerahan pada banyak orang,” pikirnya. “Tapi, bagaimana mungkin berceramah panjang lebar seperti itu, kalau mau naik ke mimbar saja Arifin sudah gemetaran?”

Arifin terus merenung dan berpikir bagaimana caranya bisa berpidato dengan baik. Setiap kali acara latihan berpidato itu diselenggarakan di pesantren, ia selalu berusaha datang. Begitu juga ketika di pesantrennya diselenggarakan lomba pidato, ia selalu mengamati satu demi satu rekan-rekannya yang tampil.

Ketika akhirnya salah seorang di antara mereka dinyatakan tampil sebagai juara, pengamatannya pun dialihkan kepada rekannya itu. Arifin mengamati kehidupan sehari-hari rekannya itu, sejak mulai bangun tidur, shalat, makan, dan sebagainya. “Ternyata anaknya biasa-biasa saja. Kalau dia bisa, kenapa Arifin tidak?” kata Arifin mengungkapkan perasaannya saat itu.

Sejak itulah, Arifin seperti ‘kesetanan’ pidato. Di saat semua teman di kamarnya tertidur lelap, ia justru bangun. Ia lalu berdiri di atas tempat tidurnya, dan beraksi seperti layaknya orang-orang berpidato di atas mimbar, ”Para hadirin yang sedang nyenyak tidur, para bantal, para kasur, dan para sarung yang kumal-kumal yang kami hormati. Pertama-tama marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang….” 

MR Englishman
Cara ‘gila’ belajar dan berlatih pidato itu ternyata tidak percuma. Ia tidak lagi mandi keringat dingin dan gemetaran setiap kali harus naik mimbar di hadapan teman-teman santrinya untuk berlatih pidato. Ia pun mulai mampu mengatur kata demi kata yang harus ia sampaikan dalam setiap latihan pidatonya. Kepercayaan dirinya terus bertambah, sehingga ia pun mulai berani tampil berceramah di luar pesantren. Setiap kali ia pulang liburan ke rumah orang tuanya di Banjarmasin, ia mulai memberanikan diri berceramah di Dakwatul-Chair, surau yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya.

Meski di pesantren sudah sering berpidato, Arifin mengaku sangat tegang saat pertama kali diminta oleh pengurus surau itu untuk berceramah. “Semalaman Arifin tidak bisa tidur dan keringat dingin keluar dari sekujur tubuh,” kenangnya. “Arifin kemudian bangkit dari tempat tidur dan berusaha membaca buku untuk mempersiapkan bahan ceramah. Siapa tahu, sambil membaca, mata jadi lelah dan bisa tidur. Ee… mata Arifin tetap saja melek dan buku yang Arifin baca pun tidak masuk ke otak. Berhadapan dengan massa ternyata lebih menakutkan!” 

Tapi, hanya sekali itu saja Arifin nervous, sehingga ceramahnya pun dirasakan tidak keruan dan banyak kalimat yang salah-salah. Sampai di rumah, Arifin pun kemudian berpikir panjang. “Arifin ternyata dibutuhkan umat. Arifin ditunggu oleh umat. Jadi, Arifin harus lebih serius dan bersungguh-sungguh lagi!” 

Hari-hari selanjutnya ketegangan itu makin berkurang dan ia pun tampil dengan penuh percaya diri. Rupanya, banyak jemaah yang menyukai gaya ceramahnya, sehingga belakangan ia diminta tampil di tempat-tempat lain. Akhirnya, setiap kali pulang ke Banjarmasin, Arifin jadi sangat sibuk. Di usianya yang masih sangat remaja, ia sudah menjadi penceramah agama dari masjid ke masjid. “Belakangan, Arifin bahkan diminta untuk berkhotbah Jumat di Masjid Al-Jihad, masjid orang-orang Muhammadiyah yang cukup dikenal di Banjarmasin,” kata sang ayah.

Menanggapi tentang kepiawaian Arifin berpidato, Royhan bercerita, “Sejak dulu, cara bicaranya sangat terlatih, sehingga setiap kali dia tampil selalu mendapat sambutan hangat dari teman-teman. Akhirnya ia pun berhasil menjadi juara di berbagai lomba pidato. Selain di Pesantren Darunnajah, ia berhasil menjadi juara pidato tingkat nasional dan tingkat Asean.”

Kesimpulan Arifin, “Sebesar kesadaranmu, sebesar itu pula keuntunganmu. Sebesar keinsafanmu, sebanyak itu pula keuntunganmu!” Royhan pun sangat kagum pada semangat dan kesungguhan Arifin. Memasuki tahun kedua, setiap santri di Darunnajah diharuskan berkomunikasi dengan bahasa Arab atau Inggris. Kalau ada santri yang berbicara sehari-hari tidak menggunakan kedua bahasa asing itu, maka mereka akan dihukum. Hukumannya bisa bermacam-macam, tergantung berapa kali santri itu ketahuan tidak berbahasa asing. Hukuman bisa berupa menghafal atau menulis kata atau kalimat bahasa Arab/Inggris, bisa disuruh membersihkan kamar mandi, dan sebagainya.

Setiap anak diwajibkan menjadi mata-mata bagi anak lain, sehingga siapa pun yang berbicara dengan tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris, pasti akan mendapatkan hukuman. Akhirnya, hampir semua santri pernah menjalani hukuman itu. Kalau teman-teman lain lebih suka berbicara dengan bahasa Arab, Arifin lebih suka berbahasa Inggris. Arifin sering kali mengatakan, “I don’t care. I don’t care with the other person!” ujar Arifin seperti ditirukan oleh Royhan.

“Teman-teman menyebut Ustad Arifin sebagai Mr Englishman!” Royhan bercerita sembari tertawa. Di kalangan teman-temannya, Arifin dikenal lebih piawai berbahasa Inggris daripada berbahasa Arab. 

Jagoan Berkelahi
Perjalanan menuju sukses ternyata memang tidak mudah. Di mana pun, ada saja orang yang iri dan dengki melihat orang lain sukses. Demikian juga yang dirasakan Arifin. Selain merasa sulit bergaul, ia sering kali merasa diperlakukan tidak adil oleh pengasuh pesantren maupun para guru. Maklum, yang masuk di pesantren itu memang santri-santri dari berbagai suku di tanah air, sehingga budaya dan tingkah laku mereka pun bermacam-macam. “Sejak kecil Arifin paling tidak bisa melihat ketidakadilan. Karena itu, Arifin pun terpaksa berkelahi karena melihat ketidakadilan itu,” kata Arifin. 

Suatu hari, Arifin melihat ada seorang santri yunior bernama Muhammad Ali disakiti oleh santri senior. Arifin pun marah dan tidak mau menerima keadaan itu sambil menantang sang senior itu berkelahi. “Eh, lu jangan cuma berani lawan anak kecil. Lawan gua kalau i memang jagoan!” 

Dalam kesempatan lain, Arifin naik pitam lagi ketika ia berhasil memergoki santri yang mencuri lauk-pauk kiriman ibunya dari Banjarmasin. Hampir setiap bulan ia memang mendapat kiriman kecap, abon, dan ikan khas Banjarmasin. Sebagian ia bagikan kepada teman-temannya, dan sebagian lagi ia simpan agar bisa untuk makan sebulan. Tapi, belum lagi genap tiga hari, semua lauk itu sudah raib. Bulan berikutnya, Arifin sengaja memasang jebakan, sampai akhirnya berhasil menangkap ‘pencuri’nya. Arifin pun langsung menghajar anak itu. Sambil melempar abon dan kecap ke wajah temannya itu, Arifin membentaknya, “Makan, tuh, abon sama kecap ini!” 

Selain dikenal sebagai juara lomba pidato, di Pesantren Darunnajah Arifin akhirnya juga dikenal sebagai santri yang suka berkelahi. Padahal, setiap kali usai berkelahi, Arifin selalu mendapat hukuman, yaitu digunduli kepalanya. Suatu hari, ketika Arifin dan santri-santri lain tengah antre makan, mendadak salah seorang santri langsung nyerobot antrean. Melihat ketidakadilan seperti itu, Arifin tentu saja sangat marah. Saat itu hanya Arifin yang berani menegur santri nakal itu, karena dia punya banyak teman. “Meskipun di pesantren, rupanya mereka main geng-gengan juga,” kenang Arifin. “Tapi, Arifin tidak takut, walaupun akhirnya Arifin dikeroyok oleh mereka. Perkelahian tentu saja sangat tidak seimbang, sehingga bibir Arifin pun robek dan berdarah-darah!”

Sebagai hukuman, Arifin pun harus digunduli. Tapi, ia berontak karena merasa diperlakukan tidak adil. Santri yang mengeroyok dan memukulinya ternyata malah tidak dihukum sama sekali. “Apanya lagi yang mau dibotaki, Kiai, sementara kepala saya sudah botak?” gumam Arifin.

Diundang Ceramah
Merasa diperlakukan tidak adil, Arifin mulai merasa tidak nyaman sekolah di pesantren itu. Ia pun memutuskan keluar sekolah, meski baru duduk di kelas dua aliyah (tingkat SMU). Setelah mengundurkan diri dari pesantren itu, Arifin pun masuk ke Pesantren Assyafi’iyah di daerah Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan. “Saya merasakan banyak ketidakadilan yang terjadi di Darunnajah, sehingga tidak nyaman lagi untuk meneruskan sekolah di sini,” tuturnya pendek.

Seperti di Darunnajah, tahun 1987 itu Arifin langsung masuk ke kelas 2 aliyah Assyafi’iyah. Di tempat ini ia tidak mondok di pesantren sehingga bisa lebih bebas mengekspresikan kemampuannya berpidato. Awalnya, ia hanya diminta menggantikan Ustad Ahmad yang berhalangan hadir karena beliau harus berangkat ke luar negeri. Ia dijemput dengan mengendarai motor Vespa dan pulangnya dibelikan nasi goreng.

Undangan ceramah kedua datang untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tapi, porsinya juga hanya sebagai pengisi waktu karena Ustad Manarul Hidayat —ustad kenamaan saat itu— yang seharusnya mengisi acara tersebut, datang agak terlambat. Namun, dua kali pemunculan tanpa sengaja justru membawa hikmah. Ia mulai dikenal banyak orang. Dan sejak itulah undangan berceramah di lingkungan pesantren itu mulai berdatangan. 

Lebih setahun kemudian ia berhasil lulus aliyah dan berhasil mendapat ranking ketiga. Menurut rencana, ia akan melanjutkan kuliah ke sebuah universitas di Mekah, tapi beberapa guru menasihatinya agar kuliah di perguruan tinggi umum di Indonesia saja. Arifin akhirnya mendaftarkan diri di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional di Jakarta. Sambil kuliah, Arifin terus berceramah di masjid, surau, atau majelis taklim. Kian lama langkahnya kian jauh. Dari seputar Bali Matraman, merambah ke seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Tahun 1994 Arifin lulus dari Universitas Nasional sebagai sarjana ilmu hubungan internasional. Sambil menjadi dosen di Universitas Borobudur, Arifin makin memantapkan diri sebagai da’i. Arifin mengemukakan, “Arifin ingin membuktikan kepada semua orang bahwa kalau kita bersunggung-sungguh, maka kita akan berprestasi. Di mana pun, kita akan bisa berprestasi!”.


Bersambung ke :


Biografi K.H Ustad Muhammad Arifin Ilham – Bagian 3

0 comments:

Posting Komentar